Nalar Inklusif: Ketika Moral Hanya Tinggal Meme di Era Digital, Apa yang Salah?

darulmaarif.net – Indramayu, 17 September 2025 | 11.00 WIB

Dalam dunia yang semakin terkoneksi, informasi tidak lagi berjalan linear. Ia meledak, membanjiri ruang digital dengan kecepatan cahaya. Twitter (X), Instagram, TikTok, hingga kanal berita online bukan hanya menjadi medium penyampai informasi, tetapi juga arena pertarungan moral. Apa yang dulu kita pahami sebagai batas-batas jelas antara baik dan buruk, benar dan salah, patut dan tidak patut, kini seolah terurai, cair, bahkan liar. Inilah yang bisa kita sebut sebagai fenomena hipermoralitas.

Dari Moral ke Hipermoralitas

Moral, dalam konsep klasik, selalu terkait dengan struktur sosial dan norma kolektif. Émile Durkheim (1893) misalnya, menekankan bahwa moral adalah kontrak sosial yang menyatukan individu dalam masyarakat. Begitu pula Clifford Geertz, yang membaca moralitas sebagai produk budaya, terikat pada simbol, bahasa, dan nilai komunitas.

Namun, dalam dunia digital yang multiplikatif, demarkasi moral itu dihancurkan. Simbol dan tanda tidak lagi merepresentasikan makna tetap, melainkan terus bergerak, ditarik-ulur oleh algoritma, viralitas, dan kepentingan sesaat. Moral tidak lagi lahir dari konsensus sosial, melainkan dari “like”, “share”, dan engagement.

Di sinilah muncul hipermoralitas: sebuah kondisi di mana moral melampaui moral itu sendiri. Ia tidak lagi kokoh sebagai identitas kolektif, melainkan berubah menjadi ruang abu-abu yang cair, ambigu, paradoks, dan ironis.

Moralitas yang Anonim dan Skizofrenik

Dalam realitas virtual, moralitas kehilangan wajahnya. Identitas moral menjadi anonim, penuh pseudonim akun-akun palsu, akun anonim, hingga trolls yang memproduksi ujaran moral seolah-olah mewakili kebenaran. Fenomena ini mengingatkan kita pada pemikiran Jean Baudrillard tentang simulacra—di mana tanda-tanda tidak lagi merepresentasikan realitas, tetapi menggantikan realitas itu sendiri.

Contoh konkret bisa kita lihat dalam perdebatan publik di media sosial Indonesia. Kasus hukum, bencana, atau isu politik dengan cepat menjadi ajang klaim moral: siapa yang benar, siapa yang salah, siapa yang berhak dihujat, siapa yang patut dibela. Sayangnya, klaim-klaim itu sering bersandar pada framing viral, bukan fakta yang utuh di kehidupan nyata.

Hasil penelitian oleh Huda & Utami (2023) dalam Jurnal Komunikasi Islam menunjukkan bahwa pola konsumsi berita di kalangan anak muda didominasi oleh media sosial, dengan kecenderungan mengutip hanya judul atau potongan konten tanpa kroscek dan verifikasi keabsahan data dan faktanya. Akibatnya, moralitas publik terbentuk dari potongan narasi, bukan refleksi kritis.

Meme, Quotes, dan Moralitas yang Diperjualbelikan

Hari ini, moral sering kali hanya hadir sebagai meme atau quotes motivasi. Ia diproduksi ulang, direduksi menjadi kalimat pendek yang mudah dibagikan, tetapi kehilangan kedalaman reflektif. Apa yang dulu kita temukan dalam teks-teks suci, nasihat para bijak, atau catatan sejarah, kini bergeser menjadi konten viral yang cepat basi.

Sosiolog Zygmunt Bauman menyebut kondisi ini sebagai “liquid modernity”—segala sesuatu cair, tak ada yang bertahan lama, termasuk moralitas. Bahkan moral hari ini menjadi komoditas: dijual sebagai branding politik, konten influencer, hingga kampanye iklan yang memanfaatkan sentimen moral untuk menarik perhatian.

Selamat Datang Para Buzzer, Selamat Tinggal Para Pemikir

Maka tak heran, dunia digital lebih ramai dengan suara buzzer daripada refleksi pemikir. Buzzer bekerja dengan algoritma: menggaungkan opini, membanjiri ruang publik, menciptakan konsensus palsu. Sementara pemikir? Tersisih, kalah oleh kecepatan viralitas.

Pertanyaan mendasarnya: jika moralitas terus direduksi menjadi sekadar konten singkat, cepat, dan cair, apa yang tersisa dari nilai moral itu sendiri? Apakah kita benar-benar masih memiliki ruang untuk membicarakan etika secara reflektif, atau moral hanya akan terus hadir sebagai tanda-tanda kosong yang dimainkan algoritma?

Saat ini, kita hidup di zaman di mana smartphone selalu dalam genggaman, tetapi moralitas terasa asing. Ia hadir di layar, tetapi absen dalam tindakan. Ia diproduksi sebagai meme, tetapi jarang direnungkan.

Lalu, apakah benar moralitas di era digital ini hanya akan kita temukan dalam arca kuno, teks kitab suci, atau pepatah klasik? Ataukah kita masih bisa membangkitkan kembali refleksi moral yang lebih substansial di tengah pusaran hipermoralitas?

Sebab pada akhirnya, pertanyaan paling mengusik adalah: apakah kita masih ingin menjadi manusia bermoral, atau cukup menjadi manusia yang viral?

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share:

More Posts