Tauhid Bukan Dogma: Peran Akal dalam Menemukan Kebenaran

darulmaarif.net – Indramayu, 20 Agustus 2205 | 09.00 WIB

Penulis: Ust. Ade Reza Muhammad, Lc.*

Tauhid sering kali dipahami hanya sebatas dogma—sekadar pernyataan iman yang diucapkan dengan lisan tanpa disertai penghayatan yang mendalam. Padahal, dalam tradisi Islam klasik, tauhid bukanlah ajaran kaku yang membelenggu, melainkan energi hidup yang menggerakkan seluruh aspek keberagamaan dan kemanusiaan. Tauhid adalah kesadaran radikal tentang keesaan Alloh yang menuntut keterpaduan antara iman, akal, dan amal. Dengan pemahaman ini, tauhid tidak berhenti pada ruang ritual, melainkan menembus ranah sosial, etika, dan peradaban.

Sering kali, sebagian orang memahami Tauhid sekadar sebagai ajaran yang harus diikuti tanpa banyak dipikirkan. Padahal, dalam Islam, Tauhid bukanlah dogma kaku yang menutup ruang berpikir. Justru, Islam memandang akal sebagai anugerah besar yang harus digunakan untuk menemukan kebenaran. Al-Qur’an berulang kali mengingatkan manusia agar berpikir, merenung, dan memperhatikan tanda-tanda kebesaran Alloh.

Di era modern, ketika agama sering direduksi menjadi identitas sempit atau sekadar simbol politik, membicarakan “tauhid bukan dogma” menjadi penting agar kita tidak terjebak pada pemahaman tekstual yang kering makna. Tauhid justru menuntut pembebasan manusia dari segala bentuk berhala baru—entah berupa materi, ideologi, atau bahkan hawa nafsu. Dengan demikian, tauhid adalah jalan menuju pembebasan, pencerahan, dan kemerdekaan sejati dalam bingkai pengabdian kepada Alloh SWT.

Tauhid Bukan Sekadar Taqlid Buta

Al-Qur’an menegaskan bahwa iman yang benar tidak lahir dari hati yang terkunci, melainkan dari pemahaman yang mendalam. Dalam QS. Muhammad ayat 24 Alloh berfirman:

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”

Ayat ini menolak anggapan bahwa Tauhid hanyalah dogma yang diterima secara buta. Sebaliknya, ayat ini mendorong umat untuk menggunakan akal mereka sehingga iman tumbuh dari kesadaran, bukan sekadar warisan yang menyebabkan kita terjebak ta’ashub (fanatisme buta).

Peran Akal dalam Melihat Alam Semesta

Alloh SWT juga mengingatkan dalam QS. Ali ‘Imran ayat 190-191 bahwa dalam penciptaan langit, bumi, malam, dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang berakal. Dengan kata lain, Tauhid dapat dipahami dengan baik bila manusia mau membuka mata hatinya, memikirkan ciptaan-Nya, dan tidak terjebak pada dogma yang membelenggu. Akal yang jernih akan menyimpulkan bahwa alam semesta tidak mungkin ada tanpa Sang Pencipta Yang Maha Esa.

Ar-Raghib Al-Ashfahani menyebutkan dalam kitabnya Az-Zari’ah ila Makarimis Syari’ah:

الْعَقْلُ إِذَا أَشْرَقَ فِي الْإِنْسَانِ يَحْصُلُ عَنْهُ الْعِلْمُ وَالْمَعْرِفَةُ وَالدِّرَايَةُ وَالْحِكْمَةُ

Artinya: “Ketika akal bersinar dalam diri seseorang, maka ilmu, makrifah, pengetahuan, dan hikmah akan diperoleh darinya.”

Al-Ashfahani hendak menegaskan bahwa akal adalah nikmat terbesar dalam mengenal kebenaran. Maka, dalam memahami Tauhid, Islam sama sekali tidak mendorong sikap menerima dogma tanpa berpikir. Sebaliknya, akal digunakan untuk membedakan antara kebenaran dan kebatilan.

Tauhid dalam Perspektif Ulama

Para ulama pun menegaskan hal serupa. Ibnu Taimiyah misalnya, dalam kitab Dar’ Ta‘ārudh al-‘Aql wa an-Naql menyatakan:
“Akal yang sehat tidak akan bertentangan dengan wahyu yang benar. Jika terjadi perbedaan, maka pasti ada kesalahan dalam memahaminya.”

Artinya, Tauhid bukan dogma yang menolak akal, melainkan kebenaran yang semakin jelas ketika akal sehat digunakan dengan baik.

Dialog Nabi Ibrahim: Tauhid Melawan Dogma

Sejarah para nabi pun membuktikan hal ini. Nabi Ibrahim ‘alaihis-salām tidak menerima Tauhid begitu saja sebagai dogma, melainkan mencari dan menimbang dengan akal. Ia menolak menyembah bintang, bulan, dan matahari, lalu menyimpulkan bahwa Tuhan sejati adalah Dzat yang menciptakan seluruhnya.” (QS. Al-An’am: 76–79). Dari sini, kita belajar bahwa akal adalah jalan penting dalam menemukan kebenaran Tauhid.

Dalam Al-Iqtishād fi al-I‘tiqād karya Imam Al-Ghozali, beliau menulis:

“Al-‘aqlu ashlun, wa as-sam‘u far‘un” – Akal adalah asas, sedangkan teks (wahyu) adalah cabang. (Imam Al-Ghozali, al-Iqtishād fi al-I‘tiqād, hlm. 13).

Pernyataan ini menegaskan bahwa Tauhid tidak bisa ditegakkan di atas dogma semata. Akal justru menjadi pondasi awal yang menegaskan kebenaran wahyu.

Dari penjelasan Al-Qur’an, hadits, dan ulama, jelas bahwa Tauhid bukan dogma yang menutup ruang berpikir. Sebaliknya, akal adalah sarana utama yang Allah berikan untuk menemukan kebenaran wahyu. Dengan memadukan akal yang sehat dan wahyu yang benar, iman menjadi kokoh, tidak rapuh, dan tidak sekadar ikut-ikutan.

Maka, setiap Muslim seharusnya beriman kepada Alloh SWT bukan karena warisan semata, tetapi karena keyakinan yang lahir dari pengetahuan, perenungan, dan pemikiran yang mendalam.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.

*Lulusan Al-Azhar, Kairo-Mesir Jurusan Ilmu Tafsir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share:

More Posts