darulmaarif.net – Indramayu, 04 Agustus 2025 | 10.00 WIB

Fenomena viral pengibaran bendera One Piece bergambar tengkorak (Jolly Roger) oleh kalangan anak muda Indonesia memantik perdebatan hangat di kanal-kanal media sosial. Sebagian melihatnya sekadar hiburan, simbol fandom anime, sementara lainnya mengkhawatirkan ia membawa pesan ideologis tertentu. Dalam perspektif filsafat sosial, fenomena ini bukan hanya budaya pop, tetapi juga pertanda bangkitnya romantisme anarkhisme ala Michael Bakunin dalam balutan estetika bajak laut era digital.
Romantisme Bajak Laut & Anarkhisme Pop Culture
Dalam anime One Piece karya Eiichiro Oda, bajak laut digambarkan bukan sebagai perompak kejam, tetapi rebel heroes: tokoh heroik yang menentang tatanan dunia absolut bernama World Government. Luffy dan kru Topi Jerami mengibarkan bendera tengkorak bukan sebagai ancaman, melainkan identitas perlawanan terhadap ketidakadilan, merdeka tanpa tunduk pada hukum resmi pemerintahan.
Michael Bakunin (1814–1876), bapak anarkhisme klasik, berkeyakinan bahwa negara dan hukum hanyalah alat penindas kebebasan individual. Prinsipnya, “Kebebasan tanpa sosialisme adalah privilese, sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan.” Gambaran kru bajak laut Staw Hat Pirates di One Piece begitu utopis: setia kawan, tanpa hierarki negara, hidup bersama atas dasar persaudaraan—persis masyarakat bebas ala Bakunin.
Noam Chomsky, filsuf anarkis modern, menegaskan bahwa anarkhisme bukan chaos, tetapi “tradisi kebebasan” yang menolak dominasi institusi yang tidak sah. Nilai ini tercermin dalam dunia One Piece yang mengkritik pemerintah absolut, membela kaum tertindas (Fishman Island, Alabasta, Wano Kuni) dan melawan kekuatan imperial kaum Naga Langit (Tenryubito).
Dari Anime “One Piece” ke Realitas Sosial Anak Muda
Pengibaran bendera Jolly Roger di dunia nyata menjadi simbol:
- Perlawanan terhadap mainstream
- Identitas kebebasan dan “anti-tatanan”
- Ekspresi kultural melawan tekanan sosial, pendidikan, bahkan negara
Generasi internet “Z” menemukan dalam One Piece spirit freedom to dream, sejalan dengan narasi anarkisme Kropotkin tentang solidaritas dan kebebasan tanpa kuasa sentral. Fenomena ini memperlihatkan mimpi kolektif tentang dunia baru: tanpa korupsi, tanpa tekanan elit, penuh petualangan hidup.
Tinjauan Kritis dalam Perspektif Islam
Islam mengakui nilai kebebasan (hurriyyah), keadilan sosial, dan perlawanan terhadap berbagai bentuk kedzoliman. Namun, Islam menolak segala bentuk kebebasan yang tidak bertanggung jawab dan menolak tatanan ilahi (an-nihilism). Alloh SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad SAW) serta Ulul Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Alloh (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Alloh dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).” (QS. An-Nisa Ayat 59)
Imam Ibn Abbas Rodliyallohu ‘anhu mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Huzafah bin Qays as-Samhi ketika Rasul mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyah (perang yang tidak diikuti oleh Rosululloh SAW.). Sedangkan As-Sady berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh Rasul sebagai pemimpin dalam sariyah.
Kedua, ulil amri itu maknanya adalah ulama dan fuqoha. Ini menurut pendapat Jabir bin Abdullah, al-Hasan, Atha, dan Abi al-Aliyah. Ketiga, Pendapat dari Mujahid yang mengatakan bahwa Ulil Amri itu adalah sahabat-sahabat Rosululloh SAW. Pendapat keempat, yang berasal dari Ikrimah, lebih menyempitkan makna ulil amri hanya kepada dua sahabat saja, yaitu Abu Bakar dan Umar. (Tafsir al-Mawardi, jilid 1, h. 499-500)
Ahmad Mustafa al-Maraghi menyebutkan bahwa Ulil Amri itu adalah umara, ahli hikmah, ulama, pemimpin pasukan dan seluruh pemimpin lainnya dan zuama yang manusia merujuk kepada mereka dalam hal kebutuhan dan kemaslahatan umum. Dalam halaman selanjutnya al-Maraghi juga menyebutkan contoh yang dimaksud dengan ulil amri ialah ahlul halli wal aqdi(legislatif ?) yang dipercaya oleh umat, seperti ulama, pemimpin militer dan pemimpin dalam kemaslahatan umum seperti pedagang, petani, buruh, wartawan dan sebagainya. (Tafsir al-Maraghi, juz 5, h. 72-73)
Catatan kritis Islam terhadap fenomena pengibaran bendera One Piece
- Simbol bukan sekadar gaya, tetapi representasi ideologi
Dalam tradisi Islam, simbol memiliki makna ruhani dan etis. Ketika generasi muda mengibarkan Jolly Roger sebagai identitas kebebasan tanpa aturan (lawless freedom), ini dikhawatirkan membentuk mentalitas permisif: menolak otoritas, meremehkan adab, dan menormalisasi kebebasan absolut yang bertentangan dengan konsep ‘ubudiyyah (penghambaan) dalam Islam.
- Kebebasan dalam Islam bersifat terbimbing, bukan liar
Islam tidak menolak perlawanan terhadap kedzoliman. Namun kebebasan yang diperjuangkan harus berada dalam kerangka tanggung jawab moral, bukan Chaotic Freedom. Semangat Jolly Roger yang berteriak “bebas tanpa hukum” dapat menyeret pemuda pada nihilisme (laa diniyyah), yaitu menolak semua aturan, termasuk syariat Islam.
- Potensi pendangkalan makna jihad dan amar ma’ruf
Anak muda yang terbiasa mendefinisikan perlawanan ala bajak laut dikhawatirkan mengalami “disorientasi jihad”: menganggap pemberontakan sebagai tujuan, bukan menegakkan keadilan. Padahal dalam Islam, jihad selalu menimbang maslahat-mafsadat. Spirit anarkisme Bakunin dikhawatirkan menggeser makna jihad menjadi sekadar perlawanan egoistik.
- Tumbuhnya mental anti-otoritas syar’i
Jika semangat melawan negara dan sistem diterjemahkan secara mentah, generasi Muslim bisa terbiasa menolak otoritas orang tua, guru, ulama — bahkan aturan agama. Ini bertentangan dengan QS. An-Nisa:59 tentang ketaatan kepada Alloh, Rasul dan ulil amri selama tidak dalam kemaksiatan.
- Risiko banalitas dan normalisasi budaya tandingan Barat
One Piece berasal dari budaya Jepang yang berakar pada sekulerisme. Mengadopsi simbol tanpa penyaringan bisa melemahkan identitas Islam secara perlahan. Pengibaran bendera tengkorak bisa tampak sepele, namun dalam jangka panjang membangun persepsi bahwa simbol Islam kurang keren dibandingkan simbol budaya pop.
Kebebasan ala One Piece menggoda, namun dalam perspektif akidah—kebebasan sejati adalah “bertaubat dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan kepada Alloh semata,” (Imam Ibn Taymiyyah, Al-Iman Juz I, [DKI: Beirut], tt. 2015).
Fenomena pengibaran bendera One Piece bukan sekadar gaya-gayaan, tapi wujud symbolic resistance dari generasi muda yang jenuh dengan ketidakadilan sistem. Namun, alih-alih meniru ideal anarkhisme ala Bakunin, generasi Muslim perlu mengemas semangat “melawan” dalam bingkai amar ma’ruf, dakwah lillah, bukan dalam semangat chaos anti-hukum.
Hati-hati bersimbol—sebab simbol adalah bahasa ideologi. Kebebasan tanpa iman hanyalah fatamorgana; tetapi kebebasan dalam koridor Islam adalah jalan menuju kemuliaan yang hakiki.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.