darulmaarif.net – Indramayu, 13 April 2023 | 08.00 WIB
Definisi secara bahasa, yang dimaskud dengan niat dalam bahasa Arab adalah Al-Qoshdu (القصد) bermaksud menuju sesuatu. Artinya setiap kali seseorang melakukan sebuah aktivitas maka bisa dipastikan setiap itu juga ada niat yang membersamainya dalam rangka memastikan tujuan dia melakukan aktivitas tersebut. Hanya orang gila saja yang yang tidak ada niat/tujuan yang pasti dalam aktivitas hariannya. Akhirnya kata niat yang aslinya berasal dari bahasa Arab ini sudah menjadi bahasa Indonesia, dimana setiap kita sudah faham betul apa yang dimkasud dengan niat walaupun sebenarnya tidak harus dijelaskan panjang lebar seperti ini.
Namun walau demikian jelas arti dan maksud dari niat itu sendiri, patut juga kita simak penjelasan lebih lengkap dari para ulama terkait apa itu niat secara istilah, utamanya yang sering kita temukan dalam kitab-kitab fikih.
Para Ulama dari madzhab Hanafi mendifisikan:
قصد الطاعة والتقرب إلى الله تعالى في إيجاب الفعل
“Niat itu adalah menuju ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah swt melalui aktivitas/perbuatan yang diadakan”.
Para Ulama dari madzhab Maliki menjelaskan bahwa nait itu adalah:
قصد الإنسان بقلبه ما يريده بفعله
“Motif/tujuan seseorang yang ada didalam hatinya terhadap aktivitas yang dia lakukan”.
Sedangkan para Ulama dari madzhb As-Syafi’I mendifinisikan bahwa:
قصد الشيء مقترنا بفعله
“Niat itu adalah motif/tujuan yang ada bersamaan dengan memulai sebuah aktivitas/perbuatan”.
Dan para ulama Hanabilah juga mempunyai definisi yang hampir sama bahwa:
عزم القلب على فعل العبادة تقربا إلى الله تعالى
“Niat itu adalah kemauan yang kuat dari dalam hati dalam rangka melaksankan ibadah sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah swt”.
Ada titik temu dalam difinisi diatas bahwa niat itu pada dasarnya adalah motivasi/keinginan yang akan dituju/dicapai dalam sebua aktivitas yang terbersit didalam hati. Niat ini sangat perlu utamanya dalam aktivitas yang memang murni ibadah, salah satu contonya adalah ibadah puasa. Agar puasa yang kita lakukan bernilai ibadah yang diterima disisi Alloh Swt, penting kiranya kita memberi perhatian lebih dalam masalah niat puasa ini, setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan:
- Membermalamkan Niat / Tabyitun-Niyyah
Diyakini oleh para ulama bahwa ketentuan untuk membermalamkan niat pada ibadah puasa wajib –Ramadhan khususnya- sebagai pendapat mayoritas Ulama. Hal ini disandarkan kepada petunjuk dari Rosululloh Saw:
من لم يجمع الصيام قبل الفجر، فلا صيام له
Artinya: “Barang siapa yang belum berniat (untuk puasa) sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya”. (HR. Imam Abu Daud)
Lebih lanjt dalam hadits lainnya Rasululloh Saw bersabda:
من لم يبيت الصيام قبل طلوع الفجر فلا صيام له
Artinya: “Barang siapa yang belum berniat (untuk puasa) di malam hari sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya” (HR. Imam Ad-Daru Quthni dan Al-Baihaqi)
Waktu malam yang dimaksud adalah luas sekali, semenjak terbenamnya matahari hingga sebelum subuh. Itu artinya boleh-boleh saja bagi kita mulai meniatkan puasa puasa pada hari esoknya setelah sholat maghrib, atau setelah sholat isyak dan tarawih, atau sebelum tidur, sebagaimana sah juga mulai meniatkan untuk puasa sebagai sebuah ibadah untuk Allah swt bersamaan dengan waktu kita santap sahur.
Jika memang sudah meniatkan diri dari semenjak magrib untuk berpuasa pada hari esoknya maka para ulama menegaskan bahwa niat itu tidak akan rusak dengan aktivitas kita di malam hari dengan makan, minum, tidur, atau bahkan berhubungan suami istri, sehingga setelah melakukan semua aktivitas itu kita tidak diminta untuk memperbaharui niat lagi.
Maka dari sini perlu kiranya perhatian bersama agar niat puasa ramadhan yang akan kita lakukan harus sudah ada minimal sebelum adzan subuh berkumandang/ atau sebelum fajar tiba, karena bisa jadi fajar sudah tida namun adzan tak kunjung terdengar karena tidak ada yang adzan, mungkin karena listrik padam atau sebagian tinggal di negri yang memang sulit mendengar adzan.
Dan hal yang demikian, terkait membermalamkan niat, tidak berlaku dalam hal pusa sunnah, karenanya tidak mengapa dan sah-sah saja niat untuk berpuasa sunnah itu baru diniakan walaupun diwaktu duha, dengan catatan dari terbitnya fajar hingga waktu dluha itu belum seteguk air yang diminum dan belum ada kecil makanan yang dimakan.
Berdasarkan penjelasan dari Aisyah ra:
دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم، فقال: هل عندكم شيء؟ ، فقلنا: لا، فقال: فإني إذا صائم
Artinya: “Suatu hari Rosululloh Saw datang kepadaku, lalu beliau bertanya: “Apakah ada makanan?”, lalu kami menjawab: “Tidak ada”, maka Rasululla saw berkata: “Kalau begitu saya puasa”. (HR. Imam Muslim)
- Menentukan Niat / Ta’yinun-Niyyah
Karena puasa wajib itu banyak bentuknya, maka dalam meniatkan puasa ramadhan butuh penentuan dan pengkhususan bahwa yang kita inginkan itu adalah puasa ramadhan, bukan puasa lainnya. Sehingga dinilai tidak cukup jika ada seseorang yang hanya meniatkan puasa secara umum saja.
Ketentuan ini sama halnya dengan ketentuan shalat lima waktu, maka niat shalat zuhur, ashar, maghrib, isyak dan subuh itu harus ditentutukan. Ketika datang waktu shalat zuhur maka hendaknya niat shalat zuhurlah yang dihadirkan didalam hati, bukan shalat secara umum, apalagi jika sesandainya meniatkan shalay ashar diwaktu zuhur, maka bisa dipastikan niatnya rusak dan tidak bisa diterima.
- Memastikan Niat / Al-Jazmu bin-Niyyah
Mayoritas ulama berpendapat bahwa niat itu harus pasti, tidak boleh sifatnya menggantung. Karena ragu apakah besok sudah masuk bulan ramadhan atau belum sehingga sering juga ada dari sebagian kita yang memasang niat ganda, kira-kira dia meniatkannya seperti ini: “jika saja besok sudah masuk bulan ramadhan maka saya akan berpuasa wajib ramadhan, namun jika belum maka saya akan berpuasa sunnah”, maka model niat menggantung seperti ini dinilai oleh para ulama tidak sah, tidak juga sah niat puasa wajibnya sama halnya juga niat puasa sunnah juga tidak sah.
- Memperbaharui Niat Setiap Malam / Ta’addudun-Niyyah bi Ta’addudul-Ayyam
Satu bulan ibadah puasa ramadhan yang diwajibkan kepada ummat Islam itu terdiri dari hari-hari; boleh jadi 29 hari atau 30 hari, dan setiap hari puasa itu dipisah oleh malam dimana kita semua bebas untuk makan/minum dan melakukan segala apa yang dilarang pada siang harinya. Kenyataan seperti ini memberikan petunjuk kepada kita bahwa hari-hari puasa ramadhan itu bukanlah satu kesatuan, dia terpisa satu dengan yang lainnya.
Boleh jadi puasa pada hari pertama sah, lalu puasa pada hari kedua batal, dan puasa pada hari ketiga sah, begitu selanjutnya hingga bulan ramdhan berakhir, batalnya satu/dua hari puasa ramadhan tidak bisa membatalkan keseluruhan hari-hari puasa ramadhan lainnya, pun begitu sebaliknya, sahnya satu/dua hari puasa ramadhan tidak bisa menjamin sahnya puasa pada sisa hari lainnya.
Dari sinilah pada akhirnya mayoritas ulama menjelaskan bahwa niat puasa ramadhan itu harus terus diperbahurui disetiap malamnya, karena puasa pada hari ketiga berbeda dengan puasa hari kedua, dan puasa hari kedua bukanlah puasa pada hari pertama, masing-masing adalah hari yang terpisah, dan masing-masing juga membutuhkan niat yang terpisah.
Semoga bermanfaat. Wallohu A’lam.