Wafat Tanpa Anak Seperti Aktris Senior Kiki Fatmala, Ahli Warisnya Siapa?

darulmaarif.net – Indramayu, 06 Desember 2023 | 08.00 WIB

Kabar kepergian aktris senior Kiki Fatmala cukup ramai diberitakan di berbagai media. Disebutkan bahwa, Kiki yang wafat di usia 56 tahun itu menginggal dunia tidak memiliki anak kandung.

Ketika seseorang wafat tanpa anak kandung seperti Kiki Fatmala, apakah artinya seluruh harta itu akan jatuh ke pasangan atau suami yang masih hidup? Berikut penjelasannya.

Memahami Unsur dan Tata Cara Pewarisan dalam Islam

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa ada tiga unsur dalam pewarisan dalam hukum waris Islam. Tiga unsur tersebut adalah, pewaris, adanya harta warisan, dan adanya ahli waris.

D.R. Musthofa Al-Khin dalam Kitab al-Fiqhul Manhaji, (Damaskus: Darul Musthofa, 2013, hal. 509) menyebutkan ada tiga rukun yang mesti dipenuhi dalam warisan.

أركان الإرث ثلاثة:
١. المورث، وهو الميّت الذي يستحق غيره أن يرثه.
٢. الوارث، وهو من ينتمي إلى الميّت بسبب من أسباب الإرث الآتي بيانها.
٣. المورث، وهي التِركَة التي يخلفها الميّت بعد موته.

Artinya:
“Rukun-rukun waris ada tiga:

  1. Orang yang mewariskan (al-muwarrits), yakni mayit yang diwarisi oleh orang lain yang berhak mewarisinya.
  2. Orang yang mewarisi (al-wârits), yaitu orang yang bertalian dengan mayit dengan salah satu dari beberapa sebab yang menjadikan ia bisa mewarisi.
  3. Harta warisan (al-maurûts), yakni harta warisan yang ditinggalkan mayit setelah kematiannya.”

Dalam kitab al-Fiqhul Manhaji, (Damaskus, Darul Musthofa, hal. 508), DR. Musthofa Al-Khin juga menyebutkan ada empat syarat dalam warisan.

1. Orang yang mewariskan harta nyata-nyata telah meninggal dunia.

Bila orang yang hartanya akan diwaris belum benar-benar meninggal, umpamanya dalam keadaan koma yang berkepanjangan, maka harta miliknya belum dapat diwarisi oleh ahli waris yang berhak menerimanya. Ini dikarenakan adanya warisan itu karena adanya kematian. Selain nyata-nyata telah meninggal harta warisan juga bisa dibagi bila seseorang dinyatakan meninggal secara hukum oleh hakim. Umpamanya dalam kasus seorang yang telah lama hilang tanpa diketahui kabarnya kemudian atas ajuan pihak keluarga hakim memutuskan bahwa orang tersebut telah meninggal dunia. Dengan putusan hakim tersebut maka harta milik orang tersebut bisa dibagi kepada ahli waris yang ada.

2. Ahli waris yang akan mendapat warisan nyata-nyata masih hidup ketika orang yang akan diwarisi hartanya meninggal, meskipun masa hidupnya hanya sebentar saja.

Artinya, ketika orang yang akan diwarisi hartanya meninggal maka yang berhak menerima warisan darinya adalah orang yang nyata-nyata masih hidup ketika si mayit meninggal. Meskipun tak lama setelah meninggalnya si mayit, dalam hitungan menit misalnya, ahli warisnya kemudian menyusul meninggal, maka si ahli waris ini berhak mendapatkan bagian warisan dari si mayit. Sebagai contoh kasus, pada saat Fulan meninggal dunia ada beberapa orang keluarga yang masih hidup yaitu seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan, seorang istri, dan seorang ibu. Namun lima menit kemudian istri si fulan menyusul meninggal dunia. Dalam kasus seperti ini maka istri si Fulan tetap menjadi ahli waris yang berhak mendapatkan harta peninggalannya si Fulan meskipun ia menyusul meninggal tak lama setelah meninggalnya si Fulan. Ini dikarenakan pada saat si Fulan meninggal sang istri nyata-nyata masih hidup.

3. Diketahuinya hubungan ahli waris dengan si mayit; karena hubungan kekerabatan, pernikahan, atau memerdekakan budak (walâ’).

4. Satu alasan yang menetapkan seseorang bisa mendapatkan warisan secara rinci.

Syarat keempat ini dikhususkan bagi seorang hakim untuk menetapkan apakah seseorang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan atau tidak. Seorang saksi yang menyatakan pada hakim bahwa “orang ini adalah ahli warisnya si fulan” tidak bisa diterima kesaksiannya dengan ucapan begitu saja. Dalam kesaksiannya itu ia mesti menjelaskan alasan kepewarisan orang tersebut terhadap si mayit.

Adapun tata cara pembagian waris, jika seorang istri meninggal tanpa memiliki keturunan, maka syariat Islam mengatur, bila istri meninggal dan tidak memiliki anak, maka suami mendapat bagian setengah dari harta warisnya. Sedangkan jika si istri yang meninggal memiliki anak, maka suami mendapat seperempat dari harta warisnya.

Kemudian bila suami meninggal dan tidak memiliki anak, maka istri mendapat bagian seperempat dari harta waris. Sedangkan bila suami yang meninggal memiliki anak, maka si istri mendapat seperdelapan dari harta waris berdasarkan ayat:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْن.

Artinya: “Bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” (Q.s An-Nisa’ ayat 12).

Siapa Saja yang berhak Menerima Warisan?

Dalam Fiqh Islam, penerima waris diatur sedemikian rupa dan dipisahkan menjadi dua golongan (laki-laki dan perempuan), berikut penjelasanya.

Dalam Kitab Al-Faroidlu Wal Washoya dijelaskan sebagai berikut:

والوارثون من الرجال عشرة الابن وابن الابن وإن سفل والأب والجد وإن علا والأخ وأبن الأخ وإن تراخى والعم وابن العم وإن تباعدا والزوج والمولى المعتق والوارثات من النساء سبع البنت وبنت الابن والأم والجدة والأخت والزوجة والمولاة المعتقة ومن لا يسقط بحال خمسة الزوجان والأبوان وولد الصلب ومن لا يرث بحال سبعة العبد والمدبر وأم الولد والمكاتب والقاتل والمرتد وأهل ملتين وأقرب العصبات الابن ثم ابنه ثم الأب ثم أبوه ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم على هذا الترتيب ثم ابنه فإن عدمت العصبات فالمولى المعتق. (كتاب الفرائض والوصايا)

Artinya: “Ahli waris dari golongan laki-laki ada 10 (sepuluh). 1. Anak laki-laki, 2. cucu laki-laki (dari anak laki-laki ke bawah; 3. Ayah, 4. Kakek ke atas, 5. Kakak/adik laki-laki, 6. Kemenakan (keponakan) laki-laki (putera dari kakak/adik laki-laki) ke bawah, 7. Saudara ayah. 8. Putera dan saudara ayah sekalipun jauh, 9. Suami. 10. Tuan yang telah memerdekakan hamba sahaya (budak)-nya. Dan Ahli waris dari golongan perempuan ada 7 (tujuh): 1. Anak perempuan, 2. Cucu perempuan (dan laki-laki), 3. Ibu, 4. Nenek perempuan, 5. Kakak/adik perempuan, 6. Isteri, 7. Pemilik budak wanita yang telah memerdekakan hamba sahaya-nya.” (Kitab Al-Faroidlu Wal Washoya)

Di kalangan ahli waris laki-laki yang berjumlah sepuluh orang bila semuanya berkumpul maka sebagiannya terhalang oleh sebagian yang lain sehingga tidak mendapatkan warisan. Mereka yang tetap bisa mendapatkan warisan hanyalah tiga orang yakni:

  1. Anak laki-laki
  2. Suami
  3. Bapak.

Sebagaimana disampaikan Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn:

إِذَا اجْتَمَعَ الرِّجَالُ الْوَارِثُونَ وَرِثَ مِنْهُمُ الِابْنُ، وَالْأَبُ، وَالزَّوْجُ فَقَطْ

Artinya: “Apabila para ahli waris laki-laki berkumpul semuanya maka yang berhak mewarisi dari mereka adalah anak laki-laki, bapak, dan suami saja.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudlatut Thoolibiin wa ‘Umdatul Muftîn, Beirut, Al-Maktab Al-Islami, juz VI, hal. 5)

Sedangkan di kalangan ahli waris perempuan yang berjumlah tujuh orang bila semuanya berkumpul maka sebagiannya terhalang oleh yang lain sehingga tidak mendapatkan warisan. Mereka yang tetap bisa mendapatkan warisan hanyalah lima orang saja, yakni:

  1. Anak perempuan
  2. Cucu perempuan dari anak laki-laki
  3. Ibu
  4. Istri
  5. Saudara perempuan sekandung.

Dalam hal ini di kitab yang sama Imam Nawawi menerangkan:

وَإِذَا اجْتَمَعَ النِّسَاءُ، فَالْبِنْتُ، وَبِنْتُ الِابْنِ، وَالْأُمُّ، وَالزَّوْجَةُ، وَالْأُخْتُ لِلْأَبَوَيْنِ

Artinya: “Apabila para ahli waris perempuan berkumpul semuanya maka yang berhak mewarisi adalah anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, istri, dan saudara perempuan sekandung.”

Lalu bagaimana bila semua ahli waris dari kedua belah pihak berkumpul semua, siapa yang berhak menerima harta waris? Lebih lanjut Imam Nawawi mengatakan:

وَإِذَا اجْتَمَعَ الصِّنْفَانِ غَيْرَ أَحَدِ الزَّوْجَيْنِ، وَرِثَ خَمْسَةٌ: الْأَبَوَانِ، وَالِابْنُ، وَالْبِنْتُ، وَأَحَدُ الزَّوْجَيْنِ

Artinya: “Dan apabila kedua belah pihak berkumpul selain salah satu dari pasangan suami istri maka yang mewarisi adalah lima orang, yaitu kedua orang tua (bapak dan ibu), anak laki-laki, anak perempuan, salah satu pasangan (suami atau istri).”

Namun perlu diketahui bahwa, dalam Hukum Islam, jika melihat apa yang terjadi pada Aktris Kiki Fatmala yang meninggal dunia sebagai non Muslim, Fiqh juga menerangkan ada beberapa penyebab yang dapat mencegah seseorang mewariskan harta atau menerima warisan.

Para ulama menetapkan ada 3 (tiga) hal yang menjadikan seseorang terhalang untuk mendapatkan harta warisan. Ketiga hal tersebut, sebagaimana disebutkan Dr. Musthafa Al-Khin dalam al-Fiqhul Manhaji (Damaskus: Darul Musthofa, hal. 277-279), adalah:

:وموانع الإرث ثلاثة
١ – الرق بكل أنواعه، وهو عجز حكمي يقوم بالإنسان بسبب الكفر. وهو مانع من الجانبين، فالرقيق لا يرث، لأنه لو ورث لكان ما يرثه لسيده، وهو أجنبي من المورث. وهو لا يورث أيضاً، لأنه لا ملك له، بل هو وما معه ملك لسيده.

Pertama, status budak.

Orang yang berstatus budak, apa pun jenisnya, tidak bisa menerima harta warisan karena bila seorang budak menerima warisan maka harta warisan yang ia terima itu menjadi milik tuannya, padahal sang tuan adalah bukan siapa-siapanya (ajnabiy) orang yang meninggal yang diwarisi hartanya. Seorang budak juga tidak bisa diwarisi hartanya karena sesungguhnya ia tidak memiliki apa-apa. Bagi seorang budak diri dan apa pun yang ada bersamanya adalah milik tuannya.

٢ – القتل: فلا يرث القاتل من المقتول شيئاً، سواء قتله عمداً، أو خطأ، بحق أو بغير حق، أو حكم بقتله، أو شهد عليه بما يوجب القتل، أو زكي من شهد عليه. لأن القتل: قطع الموالاة، والمولاة هي سبب الإرث.

روى أبو داود (٤٥٦٤) في (الديات) ، باب (ديات الأعضاء) ، عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قال: “ليس للقاتل شئ” . أي من الميراث. وقال أيضاً: “ولا يرث القاتل” . لكن المقتول يرث من قاتله، كما إذا جرح الولد أباه جرحاً أفضى به إلى الموت، ثم مات الولد الجارح قبل أبيه المجروح، فأن الأب يرث من الولد القاتل، لأنه لا مانع يمنعه من الميراث.

Kedua, membunuh.

Orang yang membunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan dari orang yang dibunuhnya, baik ia membunuhnya secara sengaja atau karena suatu kesalahan. Karena membunuh sama saja dengan memutus hubungan kekerabatan, sedangkan hubungan kekerabatan merupakan salah satu sebab seseorang bisa menerima warisan.

Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits dari kakeknya Amr bin Syu’aib, bahwa Rasulullah bersabda:

لَيْسَ لِلْقَاتِلِ شَيْءٌ

Artinya: “Tak ada bagian apa pun (dalam warisan) bagi orang yang membunuh”.

Sebagai contoh, bila ada seorang anak yang membunuh bapaknya maka anak tersebut tidak bisa menerima harta warisan yang ditinggalakan oleh sang bapak. Namun demikian, orang yang dibunuh bisa menerima warisan dari orang yang membunuhnya. Misalnya, seorang anak melukai orang tuanya untuk dibunuh. Sebelum sang orang tua benar-benar meninggal ternyata si anak lebih dahulu meninggal. Pada kondisi seperti ini orang tua yang dibunuh tersebut bisa mendapatkan warisan dari harta yang ditinggalkan anak tersebut, meskipun pada akhirnya sang orang tua meninggal dunia juga.

٣ – اختلاف الدين بالإسلام والكفر: فلا يرث كافر مسلماً، ولا يرث مسلم كافراً، لا نقطاع الموالاة بينهما. روى البخاري (٦٣٨٣) في (الفرائض) ، باب (لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم) ، ومسلم (١٦١٤) في أول كتاب الفرائض، أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قال: “لا يرث المسلم الكافر، ولا الكافر المسلم”.

هذا، والمرتد عن الإسلام كافر، لا يرث من أحد شيئاً، ولا يرثه أحد، بال ماله يكون فيئاً لبيت مال المسلمين، سواء اكتسب ذلك
المال في الإسلام، أم في الردّة.

أما الكفار فيتوارثون على اختلاف مللهم، فيرث نصراني من يهودي، ويهودي من مجوسي ومجوسي من وثني، وكذلك العكس في جميعهم. لأن الكفر كله ملة واحدة، في الإرث.

Ketiga, perbedaan agama antara Islam dan kafir.

Orang yang beragama non-Islam tidak bisa mendapatkan harta warisan dari keluarganya yang meninggal yang beragama Islam. Juga sebaliknya seorang Muslim tidak bisa menerima warisan dari harta peninggalan keluarganya yang meninggal yang tidak beragama Islam. Berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari yang menyatakan:

لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ

Artinya: “Seorang Muslim tidak bisa mewarisi seorang kafir, dan seorang kafir tidak bisa mewarisi seorang Muslim.”

Orang yang murtad dari Islam adalah kafir, dia tidak mendapat warisan dari siapa pun, dan tidak ada yang mendapat warisan darinya, semua hartanya dijadikan makanan bagi perbendaharaan kaum muslimin, baik yang diperolehnya dalam Islam maupun dalam kemurtadan.

Bagaimana dengan sesama orang kafir namun beda agama? Dalam hal warisan ini para ulama menghukumi bahwa agama apa pun selain Islam dianggap sebagai satu agama sehingga mereka yang beragama non-Islam dapat saling mewarisi satu sama lain. Maka bila dalam satu keluarga ada beda-beda agama selain Islam di antara angggota keluarganya mereka bisa saling mewarisi satu sama lain.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.