Viral Kawin Kontrak di Cianjur, Ternyata Begini Hukumnya!

darulmaarif.net – Indramayu, 24 April 2024 | 08.00 WIB

Pemberitaan tindak pidana perdagangan orang dengan modus kawin kontrak di wilayah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat menjadi perhatian publik saat ini. Dari hasil rangkuman berbagai pemberitaan media, kepolisian setempat telah menangkap dua orang perempuan yang berperan sebagai muncikari atau germo.

Penangkapan tersebut dilakukan setelah kepolisian menerima laporan para korban yang merasa dijebak oleh pelaku karena tidak memberikan mahar atau uang kontrak sesuai perjanjian.

Lantas, bagaimana hukum syariat Islam memandang kawin kontrak?

Secara bahasa, nikah berarti ad-dlommu wal-jam’u (penggabungan dan pengumpulan) atau al-wath’u (persetubuhan). Sedangkan menurut istilah syariat, definisi nikah dapat kita simak dalam penjelasan Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab berikut ini:

كتاب النكاح. هُوَ لُغَةً الضَّمُّ وَالْوَطْءُ وَشَرْعًا عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ إنْكَاحٍ أَوْ نَحْوِهِ

Artinya: “Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’ bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya.” (Lihat Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz II, halaman 38).

Secara istilah, nikah dapat didefinisikan sebagai ikatan perjanjian (‘aqd) yang telah ditetapkan oleh Alloh Swt agar percumbuan dan hubungan badan antara laki-laki dan perempuan dihukumi legal dan halal secara Islam. Dan tujuan nikah sesungguhnya untuk membentuk dan membina rumah tangga, memperoleh keturunan yang sholih dan sholihah, serta tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu. Bahkan, pernikahan diupayakan agar membentuk keluarga yang sakinah secara terus-menerus sampai ajal tiba.

Sementara, Mut’ah secara bahasa berarti mendapatkan manfaat dan kelezatan. Yang dimaksud di sini adalah menikahi seorang wanita pada masa tertentu dengan harta tertentu. Jika masa kontraknya telah selesai maka terjadi perpisahan tanpa ada talak. Dinamakan mut’ah karena si wanita mendapatkan kesenangan dengan harta yang diberi oleh pria. Sedangkan laki-laki mendapatkan manfaat dengan syahwatnya yang tertunaikan, tanpa maksud memiliki anak atau menggapai tujuan nikah lainnya.

Jumhur Fuqoha telah menetapkan bahwa nikah mut’ah dianggap sebagai nikah fasid atau rusak. Kawin kontrak atau nikah mut’ah (nikah yang dibatasi dengan waktu tertentu yang diucapkan dalam ‘aqd nikah) dianggap haram hukumnya sebab bertentangan dengan Hadits maupun pendapat Ulama Empat Madzhab.

Dalil-Dalil Haramnya Kawin Kontrak (Nikah Mut’ah)

Berdasar Hadits Nabi

Haramnya nikah mut’ah berlandaskan dalil-dalil hadits Nabi Saw juga pendapat para Ulama Empat Madzhab. Dalil dari hadits Nabi Saw yang diwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma’bad Al-Juhaini, beliau berkata:

“Kami bersama Rosululloh Saw dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: “Ada selimut seperti selimut”. Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram, dan tiba-tiba aku melihat Rasulullah saw sedang berpidato diantara pintu Ka’bah dan Hijr Ismail. Beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia, aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya, dan segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya, janganlah kalian ambil lagi. Karena Alloh ‘Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai Hari Kiamat,” (Shahih Muslim II/1024).

Dalil hadits lainnya: “Dari Ali bin Abi Thalib ra. ia berkata kepada Ibnu ‘Abbas R.A bahwa Nabi Muhammad Saw melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar.” (Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, [DKI, Beirut], Juz IX hal. 71).

Pendapat Para Ulama Empat Madzhab

Berdasarkan hadits diatas, para Ulama Empat Madzhab berpendapat sebagai berikut:

:مذهب الحنفية
يصرح الحنفية بأن نكاح المتعة باطل، وهو أن يقول الرجل لامرأة: أتمتع بك كذا مدة بكذا من المال. وقالوا: إنه ثبت النسخ بإجماع الصحابة رضي الله عنهم. وأما ابن عباس رضي الله عنهما، فقد صح رجوعه إلى قولهم، فتقرر الإجماع.

Artinya: “Dari Madzhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152) mengatakan: “Nikah mut’ah ini bathil menurut madzhab kami. Demikian pula Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587 H) dalam kitabnya Bada’i Al-Sana’i fi Tartib Al-Syara’i (II/272) mengatakan, “Tidak boleh nikah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut’ah.”

:مذهب المالكية
قال الدسوقي في حاشيته: “قال المازري: قد تقرر الإجماع على منعه- أي نكاح المتعة- ولم يخالف فيه إلا طائفة من المبتدعة، وما حكي عن ابن عباس من أنه كان يقول بجوازه فقد رجع عنه”.

Artinya: “Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid (IV/325 s.d 334) mengatakan, “hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut’ah mencapai peringkat mutawatir” Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, “Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya batil.”

:مذهب الشافعية
يعتبره الشافعية من أنواع الأنكحة المحرمة، وعرفوه بقولهم: نكاح المتعة هو أن يقول: زوجتك ابنتي يوماً أو شهراً.

وقالوا: إنه لا يجوز هذا النكاح، واستدلوا على ذلل بحديث علي رضي الله عنه السابق -وهو تحريم الرسول صلى الله عليه وسلم للمتعة زمن خيبر وقالوا إنه عقد يجوز مطلقاً فلم يصح مؤقتة كالبيع، وإنه نكاح لا يتعلق به الطلاق والظهار والإرث وعدة الوفاة، فكان باطلا كسائر الأنكحة الباطلة.

Artinya: “Dari Madzhab Syafi’i, Imam Syafi’i (wafat 204 H) dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, “Nikah mut’ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan.” Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu’ (XVII/356) mengatakan, “Nikah mut’ah tidak diperbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu ‘aqd yang bersifat mutlak, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu.”

:مذهب الحنابلة
يعتبر الحنابلة نكاح المتعة مرتبط بشرط فاسد، يفسد النكاح من أصله وهو شرط التأقيت، وقالوا إن النكاح بهذا التأقيت باطل، ولأنه لم يتعلق به أحكام من الطلاق وغيره، فكان باطلاً كسائر الأنكحة الباطلة.

Artinya: “Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, “Nikah Mut’ah ini adalah nikah yang bathil.” Ibnu Qudamah juga menukil pendapat Imam Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah haram.

Dengan demikian, hukum kawin kontrak atau nikah mut’ah menurut pendapat 4 madzhab tidak sah dan telah dihapus kebolehannya oleh kesepakatan para Ulama sejak dulu. Apalagi praktik kawin kontrak atau nikah mut’ah yang terjadi sekarang ini hanya dimaksudkan untuk menghalalkan prostitusi.

Kami ingatkan kepada kaum muslimin agar tetap waspada terhadap bujuk rayu para propagandis Syi’ah yang biasanya mereka berkedok dengan nama ‘Wajib mengikuti madzhab Ahlul Bait Nabi”, sementara pada hakikatnya Ahlul Bait Nabi melepaskan diri dari mereka, na’udzubillah. Semoga Alloh selalu membimbing kita ke jalan yang lurus berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang sesuai dengan pemahaman para Ulama Salafunas Shalih.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.