Refleksi Satu Abad NU: Menakar Tiga Butir Maklumat Hadlrotussyekh KH. Hasyim Asy’ari

darulmaarif.net – Indramayu, 31 Januari 2023 | 20.00 WIB

Pada 16 Rajab 1444 H atau bertepatan 07 Februari 2023 nanti, Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) berdasar kalender Hijriyah genap berusia 100 tahun. NU lahir pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926. Usia yang bertambah matang dan dewasa untuk ukuran organisasi keagamaan dan kemasyarakatan di Indonesia.

Memasuki awal abad kedua kehadirannya, menjadi momentum kebangkitan kedua (an-Nahdlah ats-Tsaniyah) bagi NU dalam mengembangkan peran-peran keagamaan dan kemasyarakatan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Latar Belakang Lahirnya NU

Jamiyyah NU lahir ditengah situasi paham keagamaan yang terfragmentasi ideologi trans-nasional. Berada pada situasi politik di mana banyak kelompok pergerakan nasional berjuang untuk merespons kebijakan-kebijakan imperialis di Bumi Pertiwi.

Secara budaya, perubahan perilaku masyarakat yang dipengaruhi nilai dan norma barat meluas sehingga memicu keprihatinan para ulama pondok pesantren. Pola pendidikan barat, bagian dari penerapan ’’politik etis’’ pemerintah Hindia Belanda (kolonial) telah mengganggu sistem pendidikan lokal yang mapan, khususnya pesantren sebagai pusat perlawanan terhadap kolonialisme.

Kondisi timpang dan tidak adil itu terjadi pula di sektor perdagangan, pertanian, perkebunan, dan lainnya. Para ulama pesantren, khususnya Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari menilai, kondisi tersebut sebagai situasi yang tidak memuliakan agama dan mengubah jati diri hingga mengganggu kedaulatan lokal dalam menjaga identitas (karakter) keagamaan dan kemasyarakat nusantara. Pro-kontra dalam memahami situasi kala itu, menumbuhkan fitnah yang meluas dan musibah terhadap jati diri kemasyarakatan dan kesatuan di tengah para ulama pesantren maupun umat.

Dalam konteks itu, NU lahir untuk merespons situasi dengan melawan dan atau bertahan. Bangkit melawan melalui organisasi pergerakan yang menyatukan berbagai kekuatan perjuangan. Dari sini, NU yang semula bernama Jamiyyatul Ulama diusulkan untuk diganti oleh KH R Mas Alwi bin Abdul Aziz azmatkhan menjadi Jamiyyah Nahdlatul Ulama. Adapun logo NU dirancang oleh KH Ridlwan Abdullah. Sebuah nama dan logo penuh makna filosofis, berkekuatan secara spiritual, dan berkarakter tegas.

Di lingkungan pesantren, secara bahasa Nahdlatul Ulama terdiri atas dua kata. Yakni, Nahdlah dan al-Ulama. Nahdlah adalah salah satu bentuk mashdar dari kata Nahadla yang bila disesuaikan dengan teori bahasa Ibnu Malik memiliki arti kebangkitan atau pergerakan tanpa dibatasi waktu, baik lampau, sedang atau akan. Dari sifat bentuk mashdar dalam teori bahasa Ibnu Malik adalah bentuk mashdar lil marrah yang menunjuk arti pekerjaan atau kejadian sekali, yakni sekali bangkit atau bergerak untuk selamanya.

Sedangkan kata ‘al’ pada al-Ulama adalah ‘al’ litta’rif bukan liljinsi. Sehingga bila disesuaikan dengan penjelasan Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari pada mukadimah Qonun Asasi, maka al-Ulama adalah jelas berkarakter sebagaimana ayat innama yakhsya Allaha min ‘ibadihi al-ulama. Ulama yang mempunyai rasa takut pada Allah hingga pada gilirannya menjunjung tinggi nilai amanah dalam berbagai aspek di pundaknya.

Penggabungan kata Nahdlah (nakirah/umum) pada al-Ulama (makrifat/jelas) dalam ilmu tata bahasa berfaedah ta’rif, sehingga keduanya menjadi makrifat (jelas) dengan makna tegas. Dengan demikian jamiyyah Nahdlatul Ulama berarti organisasi kebangkitan/pergerakan ulama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keulamaan sebagaimana dimaksud mukadimah Qonun Asasi dan berlangsung tanpa batas waktu, sekali bangkit bergerak, berlangsung selamanya.

Dalam konteks ini, Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari selalu menekankan dan berwasiat untuk konsisten pada tujuan Jamiyyah Nahdlatul Ulama. Beliau menukil sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Imam Bukhori dari sahabat Hudzaifah R.A. ’’Ya ma’syara al-qurro, istaqiimuu fain akhodztum yamiinan wa syimaalan laqod dholaltum dholalan ba’idan (wahai para ulama, berjalanlah pada lajur yang istiqamah, jika kalian beralih pada jalan kanan atau kiri maka sungguh tersesatlah kalian dengan kesesatan yang jauh).”

Penegasan dan wasiat beliau itu salah satunya melalui Maklumat Rais Akbar NU pada bulan Syawal 1355 H (1935 M), terdiri atas tiga butir hal penting kepada anggota NU pada umumnya, dan khususnya kepada ulama NU serta ulama Ahlussunnah wal Jamaah, yakni :

Butir 1: Kesatuan Ulama dalam Barisan

“Inna al-ghoyata al-lati turma ilaiha al-jam’iyyah hiya tauhiidu shufufi al-ulama wa robtuhum bi robithotin wahidah …” bahwa tujuan NU adalah mempersatukan barisan ulama dan mengikatnya dengan satu ikatan.

Hadratussyaikh mengingatkan dan menegaskan bahwa persatuan dan kesepakatan adalah senjata ampuh yang dimiliki manusia untuk menggapai tujuan-tujuannya, dan jalan yang harus ditempuh untuk sampai pada tujuan-tujuannya. Maka, keharusan bagi ulama kita untuk menyelamatkan dari perpecahan dan menyatukan barisan mereka, mengenyampingkan tujuan-tujuan pribadi dan menyediakan diri mereka di jalan Allah SWT untuk meluhurkan kalimatNya.

Inilah tantangan sekaligus ujian dalam berjamiyyah supaya tampak jelas kesungguhan dalam berkhidmat dan kesabaran dalam menjalankan amanat sebagai ulama NU, syiar Islam ala Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam hal ini Hadratussyekh mengajak fa ta’awanu ikhwani bi rukubikum mathiyyata al-shabri ‘ala hamli a’baai al-takaaliifi al-ijtima’iyyati wa la tasunnu al-kasla lianfusikum wa liikhwaanikum fainnahu man sanna sunnatan hasanatan fa’alaihi wizruha wa wizru man amila biha ila yaumi al-qiyamah. Saling tolong menolong dengan penuh kesabaran untuk menjalankan tugas berat organisasi, jangan malas, sesiapa dengan kebiasaaan buruk maka dosa keburukan itu baginya dan bagi yang menirunya.

Butir II : Perlu Para Penggerak Yang Tangguh

“Inna jam’iyyatana fi hajatin syadidatin ila musa’adati rijalihim al-‘aamilina” bahwa NU membutuhkan tenaga para penggerak yang tangguh. Tugas NU identik dengan tugas ulama sebagai pewaris tugas Nabi SAW, yakni dakwah Islam di seluruh lapangan hidup manusia. Pertolongan Allah pada kita (kejayaan NU) tergantung pada pertolongan kita pada agama dan Rasul-Nya (Q.S. Muhammad, Ayat 7).

Karenanya Hadratussyaikh mengingatkan agar kita konsisten mengikuti dan mematuhi Qonun Asasi Jamiyyah tanpa memperdulikan kesulitan material, kerugian harta benda dan kepayahan personal. Sebagaimana gambaran orang yang menanggung hidup para janda dan fakir miskin, mujahid fi sabilillah, qiyamullail tanpa putus, orang berpuasa tanpa berbuka dan sebagainya. Maka, “Barangsiapa memperhatikan kebutuhan orang lain maka Allah akan menanggung kebutuhannya” (HR. Imam Bukhari).

Butir III: Pelayanan NU untuk Kemaslahatan serta Kebaikan Umat, Dunia, dan Akhirat

“Inna jam’iyyatana al-mubarokah wa lillahi al-hamdu qod haazat iqbala al-‘awam ‘alaiha wa laysa dzalika la likauniha ta’malu limashlahatihim wa tas’aa likhoirihim dunyan wa ukhron wa likauniha muassisatan ‘ala khithati salafi al-sholihi ridlwanu Allah ‘alaihim” bahwa simpati masyarakat (nahdliyyin dan umum) kepada NU oleh karena NU bergerak melayani untuk kemaslahatan dan kebaikan dunia dan akhirat mereka. Juga, oleh karena NU konsisten mengikuti garis jalan (meneladani) orang-orang shaleh terdahulu.

Karenanya, Hadratussyekh mengingatkan kewajiban masing-masing ulama untuk memperhatikan ketentuan bahwa memperbaiki dan menunjukkan orang awam, mengeluarkan mereka dari gelapnya kesesatan menuju nur petunjukan serta mengentaskan mereka dari jurang kebodohan dan kehinaan menuju puncak mulianya ilmu dan keutamaan, semua itu merupakan beban tanggung jawab di pundak Ulama NU. “Fa inna al-ulama umanaau Allah ‘ala ‘ibadihi” bahwa sesungguhnya ulama adalah kepercayaan Allah (untuk membimbing umat manusia) di muka bumi.

Wa min tsamma fa al-wajibu ‘ala ulamaina an yudlo’ifuu juhudahum wa an la yudakhiruu syaian mn wus’ihim …” bahwa kewajiban bagi ulama NU untuk melipatgandakan kesungguhan dan tidak menyimpan potensi mereka untuk istiqamah khidmat izzul Islam wal muslimin di bawah naungan jamiyyah NU. Dan kewajiban itu dilaksanakan dengan saling sanding menyanding, kukuh mengukuhkan, dan ganti menggantikan dengan keyakinan bahwa pertolongan Allah SWT diberikan kepada jamaah.

Tiga butir maklumat Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari di atas bisa dijadikan indikator untuk melihat NU di umur 100 tahun, sekaligus memotivasi peran NU memasuki awal abad kedua eksistensinya.

Bagaimana NU menyatukan ulama Ahlussunnah wal Jamaah dalam barisan yang terkonsolidasi dengan baik?. Menata barisan mereka agar terkoordinasi dalam peran keulamaan membimbing jamaah sesuai kelompok, komunitas hingga kehidupan sektoral para jamaah. Menampakkan ilmu dan keteladan ulama dalam memimpin umat.

Bagaimana NU memiliki barisan para penggerak tangguh (tidak sekedar pelaksana organisasi); dengan ilmu dan keteladan mereka menunjukkan perhatian dan kesungguhan berkhidmat kepada Nahdliyyin dan masyarakat ?. Sehingga tumbuh pula simpati masyarakat untuk bergabung dan berpartisipasi dalam menjaga dan mengembangkan kedaulatan agama dan jati diri kemasyarakatan bangsa.

Bagaimana NU secara jamiyyah meningkatkan pelayanan kepada Nahdliyyin dan masyarakat demi kemaslahatan serta kebaikan hidup mereka di dunia dan akhirat? Model pelayanan di segala bidang dan sektor yang bisa menghantarkan mereka menjadi khoiro ummah, umat terbaik nan mulia dengan kesejahteraan dan kemakmuran lahir batin.

100 tahun jamiyyah NU adalah momentum untuk menegaskan konsistensi NU pada tugas dan kewajiban ulama sebagai pewaris perjuangan Nabi SAW dengan selalu meneladani para salafussholihin dalam menjaga kedaulatan agama (Islam Aswaja) dan kebangsaan (NKRI). Semoga terwujud, Amiin.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.