Polemik Nasab Ba ‘Alwi Tak Kunjung Usai, Ini Jawaban Ilmiah Untuk Para Pembenci Dzurriyah Nabi

darulmaarif.net – Indramayu, 21 Agustus 2023 | 08.00 WIB

Al-Faqir sudah mengikuti polemik nasab Bani ‘Alawi di medsos dan membaca tulisan Pak KH. Imaduddin Utsman yang menyatakan nasab Bani ‘Alawi atau Ba ‘Alawi kepada Rosululloh Saw adalah palsu dan terputus di seluruh dunia.

Menurut hemat penulis, klaim tersebut sangat prematur dan menjadi fitnah di masyarakat secara luas dan belum layak disebut sebagai kajian ilmiah, karena masih berupa review sejumlah buku atau kitab tanpa mempertimbangkan keberadaan sumber lain yang lebih otoritatif dan studi di lapangan, hanya sebelumnya ada tulisan yang serupa dari seorang Wahabi bernama Murod Syukri dari Yordania di pertengahan era tahun 90 an dan sudah dibantah oleh para ulama.

Argumentasi Pak KH. Imaduddin menolak nasab Bani ‘Alawi pada intinya hanya soal tidak tercatat dalam kitab sezamannya. Hal ini tidak ada dasarnya secara ilmu fiqih. Karena syarat penetapan nasab dalam kitab fiqih empat mazhab cukup hanya syuhroh wal istifadloh, dimana sudah jelas tertulis dalam berbagai manuskrip, kitab dan telah diakui oleh masyarakat setempat berdasarkan fenomena yang terjadi di zaman Rosululloh Saw, bahwa para Sahabat Nabi menisbathkan diri mereka kepada kabilah-kabilah dan datuk-datuk mereka, meski demikian Rasulullah Saw tidak menuntut mereka untuk menghadirkan bukti-bukti atas kebenaran nasab
tersebut, Rosululloh menjadikan informasi yang telah populer (Istifadhoh) secara
turun-temurun tentang keabsahan nasabnya sebagai patokan selama tak ada yang menganulirnya, dan berbagai hukum pun dibangun atas dasar ini.

Penetapan Nasab Dalam Syari’at Islam

Nabi Muhammad Saw mengakui penetapan nasab hanya berdasarkan pengakuan seseorang dari kabilah apa tanpa menanyakan saksi dan bukti catatan nasab mereka ke atasnya, sebagaimana dinyatakan Imam Malik Rodliyallohu ‘anhu:

الناس مؤتمنون على أنسابهم

“Bahwa Manusia itu dipercaya atas pengakuan nasabnya”

Diriwayatkan dalam Shohih Bukhori bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menerima dengan baik utusan Bani Abul Qois yg mengaku sebagian cucu klan Robi’ah tanpa bertanya dalil dan saksi nasab nya

حدثنا علي بن الجعد قال أخبرنا شعبة عن أبي جمرة قال كنت أقعد مع ابن عباس يجلسني على سريره فقال أقم عندي حتى أجعل لك سهما من مالي فأقمت معه شهرين ثم قال إن وفد عبد القيس لما أتوا النبي صلى الله عليه وسلم قال من القوم أو من الوفد قالوا ربيعة قال مرحبا بالقوم أو بالوفد غير خزايا ولا ندامى فقالوا يا رسول الله إنا لا نستطيع أن نأتيك إلا في الشهر الحرام وبيننا وبينك هذا الحي من كفار مضر فمرنا بأمر فصل نخبر به من وراءنا وندخل به الجنة وسألوه عن الأشربة فأمرهم بأربع ونهاهم عن أربع أمرهم بالإيمان بالله وحده قال أتدرون ما الإيمان بالله وحده قالوا الله ورسوله أعلم قال شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصيام رمضان وأن تعطوا من المغنم الخمس ونهاهم عن أربع عن الحنتم والدباء والنقير والمزفت وربما قال المقير وقال احفظوهن وأخبروا بهن من وراءكم

Meskipun antara kedatangan Wafdu (delegasi) keturunan Abdil Qays Bin Afshoh dari negara Bahrain yang merupakan cicit dari Kabilah Rabiah, salah satu pokok kabilah Arab yang bernasab kepada Rabiah bin Nizar bin Adnan , jaraknya mereka ke era Nabi Muhammad SAW adalah hampir 500 tahun. (Lihat kitab Fathul Bari juz 12 hal 184).

Jika memakai teori bahwa nasab harus dicatat kitab sezamannya, maka Nasab Baginda Nabi Muhammad ‎ﷺ kepada Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim Alaihissalam juga sangat bisa diperdebatkan oleh para Ulama disebabkan tidak adanya referensi manuskrip atau kitab se-kurun yang menyebutkan keberadaan mereka.

Nasab-nasab yang tercatat oleh para ‘Ulama ahli sejarah di masa lalu hanyalah berdasarkan riwayat dari hafalan uang diucapkan lisan ke lisan oleh para tsiqoh (terpercaya) dari bangsa Arab, jika ada beberapa nama yang tertulis di kalangan mereka dengan menyebut nasab maksimal hanya empat generasi, tentu banyak sekali nasab yang tidak tercatat oleh mereka. Alloh Swt berfirman dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa ada kurun yang hanya diketahui oleh Allah dan tidak diketahui oleh lainNya:

وَقُرونًا بَينَ ذٰلِكَ كَثيرًا﴾ [الفرقان:38]

أَلَم يَأتِكُم نَبَؤُا۟ الَّذينَ مِن قَبلِكُم قَومِ نوحٍ وَعادٍ وَثَمودَ وَالَّذينَ مِن بَعدِهِم لا يَعلَمُهُم إِلَّا اللَّهُ﴾ [ابراهيم:9]

Jika seandainya nasab Rasulullah ‎ﷺ yang bersambung ke Nabi Ibrahim diragukan karena alasan tidak diketahui atau tidak dicatat, maka runtuhlah kebenaran pengakuan kanjeng Nabi Muhammad Saw yang selalu menisbatkan dirinya kepada Nabi Ibrahim seperti contoh dalam Hadits sohih:

‎ولد لي الليلة غلام فسميته باسم أبي إبراهيم

“Tadi malam anakku lahir, maka aku beri nama dia dengan nama ayahku, Ibrahim”.

Begitu juga runtuhlah dalil Alquran yang mengatakan bahwa:

فيهِ ءايٰتٌ بَيِّنٰتٌ مَقامُ إِبرٰهيمَ [آل عمران:97]

Yakni bahwa Ka’bah adalah bangunan Nabi Ibrahim, sebab lagi-lagi tidak ada bukti tertulis manuskrip kuno selain kabar dari mulut ke mulut, dengan fakta sejarah jarak zaman Nabi Muhammad dengan Nabi Ibrahim adalah sekitar 2500 tahun.

Secara ilmu fiqih telah diatur bahwa cara pengakuan nasab adalah dengan syuhroh wal istifadhoh yakni telah terkenal secara luas dalam masyarakat di sebuah wilayah bahwa si Fulan adalah keturunan si Fulan tanpa ada bantahan dan sanggahan dari ulama yang otoritatif yang dibenarkan secara syariah , sebagaimana disebutkan dalam kitab Mughni Al Muhtaj juz 6 halaman 377, Nihayatul Matlab juz 18 halaman 613, Fathul Bari juz 5 halaman 254, Al Hawi Al Kabir juz 17 halaman 35, Al Mughni Ibnu Qudamah juz 10 halaman 141.

Fakta Sejarah Kitab Hadits

Satu abad setelah nabi wafat tidak ada catatan atau manuskrip penulisan hadits dan baru dilakukan di abad setelahnya karena takut bercampur dengan Al-Qur’an. Apakah lalu itu berarti kitab hadits yang ditulis di abad berikutnya adalah palsu dan tidak bisa dibenarkan?

Penulisan hadis baru dilakukan pada abad ke 2, di abad ke-2 H baru dikenal beberapa orang penghimpun dan penulis hadis. Di antaranya Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah, Malik bin Anas atau Imam Malik dan Muhammad bin Ishak di Madinah, ar-Rabi bin Sabih, Sa’id bin Urubah, dan Hammad bin Salamah bin Dinar al-Basri di Basra, Sufyan as-Sauri di Kufah, Ma’mar bin Rasyid di Yaman, Abdur Rahman bin Amr al-Auza’i di Syam (Suriah), Abdullah bin al-Mubarak di Khurasan (Iran), Hasyim bin Basyir di Wasit (Irak), Jarir bin Abdul Hamid di Rayy (Iran), dan Abdullah bin Wahhab di Mesir.

Menyusul kemudian muncul Imam Bukhari yang lahir di Bukhorо, 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M) dan wafat di Khartank, 1 Syawal 256 H (1 September 870 M). Kitab Shohih Bukhori diakui sebagai kitab hadits paling shohih setelah Al-Qur’an di atas muka bumi ini dilanjutkan Kitab Jami sahih Imam Muslim, Setelah dibukukan Kitab hadits Bukhari dan Muslim , ternyata masih ada hadits sahih sesuai standar ilmu hadits Imam Bukhori dan Muslim yang dirangkum dalam mustadrak oleh Imam Hakim. Apakah itu tidak boleh disebut kumpulan sahih karena tidak ada dan tidak ditulis di zaman Imam Bukhari Muslim?

Perihal Nasab Ba ‘Alawi

Sebetulnya banyak sekali di antara ahli nasab dan sejarawan yang telah menulis dan menetapkan nasab moyang marga Ba Alawi, diantara mereka adalah:

Imam Bahauddin Al-Janadi, Muhammad bin Yusuf Al-Yamani (w 730an H) -beliau tokoh muktamad perihal nasab- menyebut dalam kitab: “As-Suluk fi Tabaqat Al-Ulama wal Muluk” Juz 2 Hal 135-136.
Imam Ibn Tabataba, Yahya bin Muhammad bin Alqasim, (w 478 H) dalam kitab: “Abna’ al-Imam fi Misr was Syam” Hal 167.
Imam Ibnu Inabah Jamaluddin Ahmad bin Ali bin Husain Al-Hasani As-Syi’iy As-Syahiir (w 820 H), dalam kitab: “Umdatuttalib fi Ansabi Abi Talib” hal 225.
Sayyid Muhammad Al-Kadzim, ibn Abil Futuh bin Sulaiman Al-Yamani Al-Musawi, (w 880 H) dalam kitab An-Nafhah Al-Anbariyah.
Imam Al-Amidi An-Najm, Muhammad bin Ahmad bin Amiduddin Al-Husaini An-Nasabah (w 927 H), dalam kitab Al-Musyajjar Al-Kassyaf hal 52 (dalam manuskripnya, sebagaimana dituturkan oleh Hamzah Al-Kattani dalam As-Summ Az-Zu’af)
Imam Murtadlo Az-Zabidi, Muhammad bin Muhammad Al Husaini, pensyarah Ihya’ Ulumiddin (w 1205 H) dalam tahqiqannya atas Al-Musyajjar tersebut.
Imam Syamsuddin As-Sakhawi, Abul Khair Muhammad bin Abdurrahman (w 902), menyebut dalam kitab: “Ad-Dlou’ Al-Lami” Juz 5 Hal 59.

Dan masih banyak lagi ulama lainnya seperti Imam Ibn Hajar Al-Haitami (w 974 H), Ibn Syadzqam (1080an ) Sirojuddin Ar-Rifa’i (w 885 H), Al-Muhibbi (w 1111 Abu Alamah Al-Muayyadi (w 1044 H) Muhammad Zabarah (w 1381 H), Murtadla Az-Zabidi 1205 H), Abu Salim Al-Ayasyi ( w 1090 H), Al-Ahdal (w 903 H), Ibn Al-Muhib At-Thabari (w 117 H), Abul Fadl Al-Muradi (w 1206 H), Abd Bawazir Yahya Hamiduddin (w 194 M), An-Nabha (w 1350 H), Abdu Al-Ghazi (w Abad 13an) Abdul Hafidz Al-Fasi ( 1383 H), Ibn Hassan (w 8 H) dan yang lain yang telah bersaksi bahwasanya nasab dan hubungan mereka kepada Baginda Nabi Muhammad itu shohih .

Soal keberadaan nama anak Sayyid Ahmad bin Isa yang bernama Abdullah/Ubaidillah yang tidak disebutkan dalam kitab As syajarah mubarokah Imam Fahrur Rozi itu bukan dalil yang kuat, karena kitab tsb hanyalah kitab ringkasan yang tidak bisa memuat semua nasab manusia se dunia dan tidak ada kata penafian sama sekali, dan tidak menyebutkan itu sama sekali bukan berarti tidak ada.

Penggunaan kitab As-Syajarotul Mubarokah Imam Fahrur Rozi untuk menafikan nasab Bani Alawi justru ditentang oleh As-Sayyid Mahdi ar-Roja’i , Ulama syiah ahli nasab asal Qum yang mentahqiq kitab as-Syajaroh al-Mubarokah yang dijadikan rujukan oleh pak Imaduddin, dalam kitabnya al-Mu’qibun min Aal Abi Tholib beliau menyebutkan sosok Ubaidllah sebagai putra Ahmad bin Isa yang ikut hijrah bersama ayahnya ke Hadhromaut, serta memiliki anak Jadid, Bashri dan Alawi, yang mana keturunan Alawi tersebar di berbagai belahan dunia.

Bahkan guru dari Sayyid Mahdi ar-Roja’i yang menemukan manuskrip as-Syajaroh al-Mubarokah, yaitu Ayatulloh Mar’asyi yang merupakan Nassabah dari kalangan Syiah, juga mengakui dengan jelas keabsahan nasab Baalawi sebagai Asyrof keturunan Rosululloh Saw. Artinya penemu manuskrip as-Syajarah al-Mubarokah dan pentahqiqnya pun tidak pernah memahami isi kitab as-Syajarah al-Mubarokah terkait keturunan Ahmad bin Isa sebagaimana yang difahami pak KH. Imaduddin yang menafikan nasab Ba ‘Alawi. Bahkan mereka mengeluarkan surat resmi yang isinya mengklarifikasi kesahihan nasab Ba Alawi.

Penulisan ‘Ulama yang menetapkan nasab Bani Alawi di berbagai naskah kitabnya tentu bukanlah pendapat pribadi ataupun hasil ijtihad sebab urusan nasab bukan urusan pendapat atau ijtihadi. Penisbatan itu tidak lain merupakan hasil verifikasi yang murni berpijak kepada data-data sebelumnya baik melalui sumber tertulis atau sumber yang tidak tertulis misalnya hafalan lisan, hal ini berlaku sepanjang zaman bahwa nasab menjadi catatan tersendiri bagi anak keturunan mereka yang diwariskan dari hafalan lisan ke lisan.

Penisbatan Nasab Ba ‘Alawi Hari Ini

Sudah diakui para ahli nasab dunia dan ditulis dalam berbagai kitab tentang kesahihan nasab Bani Alawi, lalu apa karena seseorang tidak bisa menjangkau sumber data para Ulama tersebut kemudian kita mau ikuti dan menganggap itu semua tidak ada dan tidak mu’tabar?

Kalau memang Sayyid Ahmad bin Isa tidak punya anak bernama Abdullah/Ubaidillah, kemana saja para Ulama ahli nasab selama berabad-abad tidak ada satupun yang menafikan justru yang banyak malah mengisbathkan?

Apakah selama lebih dari 1000 tahun lebih baru ada Mujtahid bernama Imaduddin dari Banten dan sebelumnya ada seorang wahabi dari Yordania yang bernama Murod Syukri di pertengahan tahun 1990 an Masehi yang baru cerdas, ngerti dan sadar akan hal ini ?

Kemarin penulis sudah posting 47 judul kitab yg menulis nasab Bani ‘Alawi di grup WAG BM Nusantara dan semua menurut mereka para pembenci bani Alawi semua kitab itu hanya bohong dan palsu karena tidak sezamannya.

Bagaimana bisa ribuan tahun ada kebohongan para ulama yang rapi terpublikasi sedemikian rapi tanpa bantahan padahal semua ulama tahu bahwa penisbatan nasab palsu pada Rasulullah adalah dosa besar dan perbuatan terlaknat? Hal ini disebut dalam sebuah hadits Sahih Bukhori juz 4 halaman 120 yang isinya tidaklah seseorang mengaku-ngaku sebagai keturunan selain ayahnya sedangkan dia mengetahui itu terkecuali dia melakukan kekufuran ( dosa besar ), dan siapa yang mengaku-ngaku sebagai bagian dari sebuah kaum/kabilah padahal ia bukan bagian dari kabilah tersebut maka bersiaplah tempatnya di neraka.

Para Aulia dan ‘Ulama NU sejak zaman dahulu seperti KH Hasyim ‘Asy’ari, KH Kholil Bangkalan, KH Hasan Genggong, KH Abdurrahman Wahid, KH Abdul Hamid Pasuruan, KH Abdullah bin Nuh, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Mas Soebadar, KH Idris Marzuqi Lirboyo, KH Muhammad Zaini Abdul Ghoni (Abah Guru Sekumpul), KH. Maemoen Zubair, serta para Ulama dan Aulia’ lainnya mengakui keabsahan nasab Habaib Ba’alawi sebagai Dzurriyyah Nabi Muhammad Saw dan saling menghormati satu sama lainnya.

Maka sangat bijak apabila kita sebagai warga NU saat ini menahan diri untuk tidak ikut berpolemik, kita ikuti saka statement Ketum PBNU KH. Yahya Kholil Staquf yang menyatakan bahwa nasab Ba Alawi dan para kyai dzurriyah Wali Songo adalah sah tersambung kepada Rosululloh Saw tanpa perlu lagi diperdebatkan.

Jangan kita ikut mencela nasab siapapun, biarlah itu menjadi keyakinan masing-masing dengan Alloh Swt yang maha tahu, Jika seumur hidup kita tidak pernah mencaci maki Fir’aun atau setan itu tidak berbahaya dan tidak berdosa, namun bila kita membenci dan mencaci maki seseorang yang mungkin sesungguhnya dia benar di hadapan Alloh Swt, itu sungguh berbahaya dan kelak kita akan menanggung dosanya di pengadilan Alloh Swt.

Penulis berharap polemik ini harus segera diakhiri karena hanya menebar kebencian, melemahkan persatuan ummat Islam dan rawan dijadikan lahan adu domba menjelang pilpres 2024 mendatang. Mari kita jaga persatuan dan kesatuan serta suasana kondusif keamanan bangsa Indonesia.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.