Perayaan Imlek dalam Prisma Pemikiran Gus Dur

darulmaarif.net – Indrmayu, 22 Januari 2023 | 11.00 WIB

Perayaan Imlek atau Tahun Baru China tahun ini jatuh pada 22 Januari 2023. Imlek sendiri merupakan penanggalan lunar yang ditetapkan pada masa dinasti Han di China. Sistem kalender ini mengawali tahun di musim semi, yang dinilai cocok untuk masyarakat agraris China.

Tradisi Imlek dimulai sekitar abad ke-5 M. Mengutip laman wikipedia.org, ‘dalam kalender Gregorian, tahun baru Imlek jatuh pada tanggal yang berbeda setiap tahunnya, antara tanggal 21 Januari sampai 20 Februari. Dalam kalender Tionghoa, titik balik mentari musim dingin harus terjadi pada bulan 11, yang berarti tahun baru Imlek biasanya jatuh pada bulan baru kedua setelah titik balik mentari musim dingin (dan kadang yang ketiga jika pada tahun itu ada bulan kabisat).’

Budaya China masuk bersama kedatangan orang China yang bermigrasi ke berbagai wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia untuk berdagang. Kedatangan mereka turut berdampak pada perkembangan kebudayaan di tanah air.

Di Indonesia, tradisi ini sempat hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga dalam ruang tertutup pada masa Orde Baru Soeharto.

Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China pada 6 Desember 1967. Instruksi tersebut menetapkan seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Karena itu, perayaan imlek saat masa Soeharto umumnya tidak dilakukan, atau berlangsung secara sembunyi-sembunyi.

Adapun kebebasan merayakan tahun baru Imlek oleh warga Tionghoa di Indonesia tidak terlepas dari peran penting Presiden keempat RI, KH. Abdurrahman Wahid. Atas jasanya menghapuskan diskriminasi, pria yang akrab disapa Gus Dur ini dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia pada tahun 2004 silam.

Seperti diketahui, Gus Dur memiliki andil cukup besar yang membuat etnis Tionghoa dapat merayakan Imlek secara bebas. KH. Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/1967 pada 17 Januari 2000. Sejak dicabutnya Inpres tersebut, masyarakat Tionghoa mendapatkan kebebasan lagi untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan upacara-upacara agama seperti imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya secara terbuka.

Bagi etnis Tionghoa, peranan Gus Dur tidak bisa dilepaskan dari perayaan imlek. Berkat tangan (kebijakan) baiknya, beliau menyetarakan etnis Tionghoa seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, termasuk mengakui agama Konghucu sebagai agama resmi yang diakui di Indonesia. Dengan membuat Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur telah menghapus keputusan Presiden Soeharto tahun 1967 yang melakukan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.

Oleh karena itu, ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden, Gus Dur menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur yang fluktuatif. Libur boleh, tidak libur juga boleh.

Selain itu, untuk meyakinkan bahwa tidak salah menjadi Tionghoa dan tidak ada salahnya menjadi Tionghoa, Gus Dur pernah mengaku bahwa beliau merupakan keturunan Tionghoa.

Berdasarkan cerita Gus Dur, yang pernah dilansir Kompas.com, ia menyebut bahwa ia merupakan keturunan dari Putri Cempa yang menikah dengan raja di Indonesia dan memiliki putra yang bernama Tan Eng Hwan. Tan Eng Hwan inilah yang kemudian dikenal sebagai Raden Patah.

Namun dengan santainya, Gus Dur menghela dengan humornya yang mengatakan bahwa Tionghoanya sudah tercampur dengan Arab dan India.

Tidaklah heran bila etnis Tionghoa, umat Konghucu merasa begitu dekat dengan Gus Dur hingga Gus Dur disemati gelar ‘Bapak Tionghoa Indonesia’ pada tahun 2004 di Kelenteng Tay Kek Sie. Gus Dur hadir dalam penobatan itu dengan pakaian lengkap menggunakan baju cheongsam, bisa dibayangkan bahagianya mereka?

Bahkan dalam tuturan Rif’atuz Zuhro yang dikutip dari portal NU Online mengatakan bahwa pertemuan lintas agama di Pesantren Tebuireng beberapa bulan silam, umat Konghucu sangat menghargai Gus Dur dan mengatakan, “Apabila Gus Dur tidak diterima di surganya Islam, maka Gus Dur akan diterima di surganya Konghucu,” ungkap salah satu tokoh umat Konghucu dengan disambut meriahnya tepuk tangan pada forum tersebut.

Dalam kajian-kajian yang diampu oleh Ketua Lesbumi NU KH. Ng. Agus Sunyoto, juga sering menyinggung bahwa etnis Tionghoa telah ribuan tahun menghuni Nusantara, bahkan sebelum banyak orang asli Nusantara memeluk ajaran Islam, lebih dulu etnis Tionghoa memeluk Islam di daerah daratan pantai utara Jawa. Jadi, Tionghoa juga pribumi sebab faktanya, ras-ras di Nusantara adalah perkawinan ras-ras yang beragam.

Dari sini kita bisa belajar, berbenah bahwa Gus Dur telah memulai dan mengajarkan kita tentang memanusiakan manusia tanpa melihat suku, agama, ras, budaya, saat ini tinggal bagaimana kita melanjutkan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan oleh Gus Dur.

Maka tidak heran, saat perayaan tahun baru Imlek, tidak sedikit orang yang akan mengingat Gus Dur, tidak sedikit orang yang berbicara tentang Gus Dur. Sebaliknya, ketika mengingat Gus Dur tidak sedikit yang akan menyertakan simbol-simbol Tionghoa untuk mengingat Gus Dur. Seperti perayaan Haul Gus Dur tidak jarang juga menggelar tari Barongsai, dan berpakaian serba merah menyala.

Barangkali, inilah semangat menyatu karena perbedaan, sebab semua manusia adalah saudara, saudara dalam kemanusiaan (ukhuwah basyariyah), begitu kira-kira.

Dengan semangat ukhuwah basyariyah, seseorang melihat orang lain terutama sebagai sesama manusia, bukan apa agamanya, sukunya, bangsanya, golongannya, identitasnya, dan baju-baju luar lainnya. Kita mau menolong seseorang yang membutuhkan pertolongan bukan karena dia seagama, sesuku, atau sebangsa dengan kita misalnya, melainkan karena memang dia seorang manusia yang berada dalam kesulitan dan sudah seharusnya kita tolong, apa pun agama dan sukunya.

Jadi tidak benar, bila hanya karena segelintir pihak yang mengendapkan isu basi lalu menaikkan lagi soal politik identitas (membawa agama, ras, budaya) pihak-pihak lainnya menjadi kecil, ringan dan sendirian.

Anak-anak ideologis Gus Dur juga akan terus menggemakan ajaran-ajaran kebaikan untuk kemanusiaan. Masih banyak anak bangsa yang waras untuk melihat kerakusan yang mengorbankan kemanusiaan dan menumbalkan keagamaan demi tujuan politik yang kejam.

Imlek saat ini, penting bagi kita semua untuk merawat apa yang telah diajarkan sang guru bangsa, menjaga kedewasaan dalam hidup beragama, berbangsa, dan bernegara. Justru kematangan beragama dibuktikan dengan kita bisa turut berbahagia ketika mereka (etnis Thionghoa) juga bahagia.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.