Penetapan Awal Ramadhan Dengan Ru’yatul Hilal atau Hisab?

darulmaarif.net – Indramayu, 14 Maret 2023 | 08.00 WIB

Sejak dari bulan Rajab kita sudah melaksanakan doa yang dianjurkan oleh baginda Nabi Muhammad Saw melalui puji-pujian menjelang Sholat Fardhu atau pada saat-saat tertentu yang kita sempatkan untuk membacanya. Doa yang dimaksud adalah:

اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِىرَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَالِغْنَا رَمَضَانَ

Artinya: “Ya Alloh, berilah keberkahan pada kami di bulan Rajab, bulan Sya’ban dan sampaikanlah kami di bulan Ramadhan”.

Alhamdulillah, pada kesempatan ini, doa kita dikabulkan oleh Alloh Subhanahu Wa Ta’ala. Sebentar lagi kita bisa sampai pada Bulan Suci Ramadhan, bulan yang penuh berkah, penuh ampunan dan bulan di mana pahala dilipatgandakan. Di dalam doa tersebut tersirat makna; 2 (dua) bulan sebelum Ramadhan, Kita sudah mengharap dan mempersiapkan diri untuk menyambut datangnya Ramadhan bulan yang suci dan mulia. Dengan harapan kita termasuk golongan orang-orang dalam Hadits Rosululloh Saw:

مَنْ فَرَحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرَانْ

Artinya: “Barang siapa yang berbahagia dengan datangnya bulan Ramadhan, maka Alloh Swt mengharamkan jasad orang tersebut atas api neraka.” (H.R Muttafaqun ‘alaih)

Lantas kapan saatnya Bulan Ramadhan tiba? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan untuk menambah wawasan keilmuan dan memperkuat keyakinan kita. Seperti dinyatakan oleh Jumhurul Ulama (mayoritas Ulama) bahwa mereka sepakat penetapan awal Ramadhan itu dilakukan dengan salah satu dari dua cara, yaitu:

  1. Dihitung dengan (melihat) hilal (tanggal) bulan Ramadhan, bila tidak ada yang menghalangi pandangan seperti mendung, awan, asap, debu, dll.
  2. Dengan menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari, bila tanggal 29 Sya’ban ada penghalang Ru’yatul hilal.

Hal ini berdasar hadits Nabi Muhammad Saw:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا

Artinya: “Berpuasalah kalian apabila melihat bulan, dan berbukalah (berhari raya-lah) kalian, apabila telah melihat bulan. Namun jika pandanganmu terhalang oleh awan, maka sempurnakan bulan Sya’ban itu sampai dengan 30 hari”. (HR. Bukhori)

Dalam keyakinan kita, Ru’yatul hilal adalah Pegangan dan Pedoman yang diyakini untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, seseorang dilarang memulai puasa ataupun mengakhirinya sebelum ada keputusan hasil Ru’yah, sebagai mana sabda Rosululloh Saw:

عَنْ عَبْدِاللهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لاَ تَصُوْمُوْا حَتَّى تَرَوا الهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتَّى تَرَوْهُ فَاءِنْ غَمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ (صحيح البخارى)

Artinya: “Dari ‘Abdulloh Bin Umar R.a bahwa suatu ketika Rosululloh bercerita tentang bulan Ramadhan. Rosul bersabda: ‘Janganlah kalian berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan janganlah kamu berbuka (hari raya) sampai kamu melihat bulan, namun jika pandanganmu tertutup mendung, maka perkirakanlah jumlah harinya” (HR. Imam Bukhori)

Kalaupun ada golongan atau kelompok lain di negara kita yang menggunakan selain Ru’yatul Hilal dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, itu lebih dikarenakan kurang tepat dalam menempatkan dan mempedomani Hujjah/Dalil semisal Hadits Rasulullah Saw:

عَنْ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ اَنَّا اُمَّةٌ اُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتَبَ وَلاَ نَحْسُبٌ اَلشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِى مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ وَمَرَّةً ثَلاَثِيْنَ

Artinya: “Dari Ibnu Umar R.a, dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda: ‘Kami adalah umat yang tidak dapat menulis dan berhitung satu bulan itu seperti ini. Seperti ini maksudnyamaksudnya: satu saat berjumlah 29 hari dan pada waktu lain 30 hari”. (HR. Imam Bukhori).

Hadits diatas dijadikan landasan untuk melemahkan metode Ru’yatul Hilal sebagai mana yang kita yakini.

Dalam pemahaman mereka, Rosululloh Saw menggunakan Ru’yah, karena di zaman baginda Nabi Muhammad Saw, belum mampu melakukan Hisab / perhitungan. Oleh karenanya, bagi mereka, metode Ru’yatul Hilal sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang yang serba bertehnologi canggih ini di mana Metode Hisab (Penentuan awal Ramadhan dengan Metode Perhitungan) di dukung oleh dan didasarkan pada hitungan berbasis Komputer.

Pemahaman tersebut sungguh belum bisa diterima karena kenyataannya di zaman Rosulullah Saw, telah ada Sahabat-Sahabat yang mahir Ilmu Hisab terutama seperti sahabat Ibnu ‘Abas rodliyallohu ‘anhu. Kita meyakini dan mengikuti; bahwa Ru’yatul hilal adalah cara yang diajarkan, danjurkan dan yang telah dilaksanakan Rosululloh Saw dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan; bukan dengan Hisab, atau malah dengan mengikuti keputusan Negara lain yang berbeda Matla’ (batas daerah berdasarkan jangkauan dilihatnya hilal atau dengan kata lain matla’ adalah atas geografis keberlakuan ru’yah).

Hadits tentang Ru’yatul Hilal dikukuhkan oleh para Ulama Nahdlatul Ulama sebagai sebuah Keputusan yang wajib diikuti oleh Warga Nahdliyyin. Maka, Berdasarkan Keputusan Munas ‘Alim Ulama Nahdlatul Ulama Tahun 1987 di PP Al-Ihya Ulumaddin Kesugihan, ditetapkan bahwa:
“Warga Nahdliyyin mengawali Puasa Romadlon dan Idul Fitri berdasarkan Ru’yat bil Fi’li / Ru’yatul Hilal dan atau Istikmal jika proses Ru’m’yatul Hilal tidak dicapai karena terhalang awan atau mendung, serta mengikuti Hasil Sidang tersebut oleh Pemerintah RI, juga berdasarkan Ru’yatul Hilal.

Jika Pemerintah RI ternyata menetapkan Awal Ramadhan dan atau Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha berdasarkan Hisab semata dan bukan berdasarkan Ru’yatul Hilal atas dasar Sumpah terhadap Dua Orang Saksi atau lebih, seperti pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, maka Warga NU tidak Wajib mengikutinya. Artinya, demi menjaga keyakinan yang kita anut, Warga NU tetap melaksanakan Ibadah Puasa Ramadhan dan Merayakan Idul Fitri tetap berdasarkan hasil Ru’yatul Hilal.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.

Pontren Marul Ma’arif saat ini sudah sampai pada GELOMBANG KE 3. Segera daftarkan putra putri kesayangan anda di: http://daftar.darulmaarif.net