darulmaarif.net – Indramayu, 02 Februari 2023 | 17.00 WIB
Meski mendesah dalam hubungan intim suami-istri termasuk ke dalam ruang yang sangat privat, namun Islam tetap memiliki adab berhubungan suami istri. Termasuk juga persoalan mendesah menurut Islam.
Desahan sendiri biasanya ada saat berhubungan seksual, yang biasanya akan membantu pasangan untuk mendapatkan orgasme.
Oleh karena itu-dalam menjaga kehati-hatian- alangkah lebih baiknya bagi umat Islam untuk mengetahui terlebih dulu mengenai hal tersebut.
Berhubungan intim dengan suami atau istri yang sah bukan hanya sekadar melepas gairah seksual, tapi juga termasuk ke dalam sedekah yang dapat mendatangkan pahala. Dalam sebuah hadis disebutkan:
عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صلىالله عليه وسلم – يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ.
Dari Sahabat Abu Dzar Al-Ghifary r.a, beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat berkata kepada Nabi SAW: “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan salat sebagaimana kami salat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.”
Nabi Muhammad Saw kemudian bersabda: “Bukankah Alloh Swt telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah sedekah, tiap-tiap tahmid adalah sedekah, tiap-tiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.”
Mereka bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah jika salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rosululloh Saw menjawab: “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika dia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, dia mendapat pahala.” (HR Muslim)
Dalam kitab ‘Uqudul Lujain’, terdapat pula pembahasan mengenai tata cara melakukan hubungan seks suami-istri.
Namun, kondisi saat ini nyatanya terdapat banyak variasi bercinta yang dapat dilakukan oleh pasangan suami istri. Selain desahan dan rintihan, ada pula posisi berjimak dan lain sebagainya.
Hal tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan kepuasan saat berhubungan suami istri. Jadi harus ada kesepahaman di antara keduanya agar tidak ada yang merasa terpaksa saat melakukannya.
Nah bagaimana jika seorang istri menolak untuk memenuhi tuntutan suami dalam melakukan variasi bercinta? Apakah ini termasuk dalam kategori pembangkangan atau nusyuz?
Sebenarnya, penolakan seorang istri terhadap permintaan suami dalam melayani variasi bercintanya tidaklah termasuk dalam kategori membangkang atau nusyuz.
Karena pada dasarnya kewajiban melayani hubungan seks seorang istri kepada suami adalah sewajarnya saja.
Kecuali jika suami tidak bisa mengeluarkan sperma tanpa variasi tersebut atau akan menyebabkan kerepotan yang lain, maka istri wajib memenuhi permintaan suaminya tersebut.
Selama bentuk variasi itu masih dalam kewajaran, maka hal tersebut masih diperbolehkan. Akan tetapi jika variasi itu telah melanggar norma agama, maka tidak wajib bagi istri untuk menurutinya.
Sebelum mengetahui hukum mendesah menurut Islam, dijelaskan beberapa pendapat dari para ulama tentang variasi dalam bercinta tersebut.
Menurut Syekh Abdul Malik bin Habib yang mengutip Imam Malik dalam kitab al Adabun Nisa bi Kitabil Ghayah wan Nihayah, saat berjima’ atau bercinta diperbolehkan untuk untuk mendesah.
Akan tetapi, jika dilakukan di luar hubungan seksual sebaiknya menghindarkan diri untuk mendesah. Dalam keterangannya, Imam Malik berkata:
و قال مالك لا بأس باالنخر عند الجماع وأراه سفها في غير ذالك يعاب على فاعله
Artinya: Imam Malik berkata: “Tidak mengapa mendesah saat jima’/bercinta, akan tetapi terlihat bodoh jika dilakukan di luar jima’. Pasalnya, itu merupakan aib bagi yang melakukannya.”
Sementara itu dalam kitab Kasyaful Qina’ ‘an Matnil ‘Iqna, dijelaskan bahwa menurut Abu Hasan al-Qathan, hukum mendesah menurut Islam adalah boleh.
وقال أبو الحسن بن القطان في كتاب أحكام النساء : لا يكره نخرها للجماع ولا نخره وقال ) الإمام ( مالك ) بن أنس ( لا بأس بالنخر عند الجماع وأراد سفها في غير ذلك يعاب على فاعله وتكره كثرة الكلام حال الوطء ) لقوله – صلى الله عليه وسلم – { لا تكثروا الكلام عند مجامعة النساء فإن منه يكون الخرس والفأفأة } رواه أبو حفص ، ولأنه يكره الكلام حال البول وحال الجماع في معناه
Artinya: “Abu Hasan bin Qathan berkata dalam Kitab Ahkamun Nisa; tidak dimakruhkan mendesah dalam Jima’, dan berkata pula Imam Malik bin Anas, tidak mengapa mendesah saat melaksanakan hubungan jima’, akan tetapi di luar jima’ jangan dilakukan, akan terlihat bodoh, sekaligus aib (mendesah) di luar hubungan intim. Dan Makruh banyak berkata-kata ketika Jima’, karena sabda Rosululloh; Jangan banyak bicara saat sedang melakukan hubungan intim dengan istri, sebab Tindakan itu bisa menyebabkan kebisuan dan gagu.” (HR. Abu Hafsh) (Kasyaful Qina’, Volume 17 Halaman 409)
Dalam Fikih Ahlus Sunnah, diperbolehkan bagi suami istri bersuara atau berbicara saat berjima’. Asalkan suara atau kata-kata mereka tidak terdengar oleh orang lain.
Ibnu Abbas juga pernah ditanya tentang hukum mendesah menurut Islam. Dan dia pun menjawab: “Jika kalian berjima’ dengan istri, lakukanlah sesuka kalian.”
Meski sebagian Ulama membolehkan, ada juga sebagian lainnya yang memakruhkan mendesah saat Jima’. Berikut adalah pendapat para Ulama tentang hal tersebut:
الإنصاف ص. ٢٦٤-٢٦٥
وقال القاضي في الجامع قال أبو الحسن بن العطار في كتاب أحكام النساء ويكره نخرها عند الجماع وحال الجماع ولا نخره وهو مستثنى من الكراهة في غيره.
“Dikatakan oleh Alqodi dalam Kitab Aljami : Berkata Abulhasan Bin Atthor Dalam Kitab Ahkamunnisa, “Dimakruhkan bagi perempuan mendesah pada saat dan ketika jimak. Dan tidak dimakruhkan bagi laki laki, mendesah bagi pria boleh hal ini dikeluarkan dari kemakruhan.”
Kemudian masih dalam kitab Al-Inshof dengan halaman yang sama juga dikatakan:
.معن بن عيسى كان بن سيرين وعطاء ومجاهد يكرهون النخر عند الجماع
“Dan berkata Ma’n Bin Eisa: Bahwa Ibn Sirin Dan Atho Dan Mujahid, Semuanya memakruhkan mendesah pada saat jima’.”
Jika dilihat dari beberapa pendapat para Ulama ini, maka dapat disimpulkan bahwa hukum mendesah menurut Islam ada yang membolehkan, asal dilakukan saat Jima’ dan dilakukan asalkan tidak mengganggu orang lain. Meski begitu, sebagian Ulama lain mengatakan mendesah tetap dimakruhkan meski saat Jima’ atau bersetubuh.
Himbauan:
Sebaiknya bagi pasutri yang sedang melakukan hubungan intim atau Jima’ adalah diam. Bila tak kuasa menahan nikmat, maka mengeluarkan suaranya sebaiknya dihaluskan atau dikecilkan supaya tidak terdengar oleh orang lain.
Itulah penjelasan mengenai hukum mendesah menurut Islam yang dapat menjadi pegangan saat melakukannya karena telah mendapatkan penjelasan dari para Ulama.
Semoga Bermanfaat. Wallohu a’lam.