Jelang 2024, Ini Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi bagi Umat Islam

darulmaarif.net – Indramayu, 31 Desember 2023 | 22.00 WIB

Menjelang tahun baru Masehi 2024, sebagian besar masyarakat di seluruh dunia menyambut tahun baru Masehi, termasuk umat Islam. Perayaan tahun baru Masehi biasanya diisi dengan sukacita berkumpul bersama teman, keluarga, kolega ataupun orang tercinta di alun-alun kota maupun tempat-tempat lainnya guna menyaksikan ragam pertunjukan, seperti pesta kembang api, konser musik, hingga karnaval seni budaya.

Tahun Baru Masehi seringkali dianggap sebagai perayaan global yang melibatkan banyak orang, termasuk umat Islam. Namun, seiring pertimbangan hukum Islam, perlu untuk memahami pandangan agama Islam terhadap merayakan peristiwa ini.

Untuk menjawab pandangan Islam terkait perayaa Tahun Baru Masehi, berikut adalah penjelasan tentang hukum merayakan Tahun Baru Masehi dalam pandangan Islam dengan beberapa dalil yang dapat membantu membentuk pemahaman kita sebagai umat Islam.

Perspektif Islam tentang Perayaan Tahun Baru

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk merayakan dan menghormati peristiwa keagamaan dalam Islam, seperti anjuran menyambut bulan Suci Ramadhan dan Iedul Fitri. Tidak ada perintah langsung dari Al-Qur’an atau hadits Nabi yang memerintahkan umat Islam untuk merayakan Tahun Baru Masehi.

Dalil-dalil dari Al-Qur’an

Meskipun Al-Qur’an tidak secara khusus membahas perayaan Tahun Baru Masehi, tetapi ayat-ayat tertentu memberikan panduan tentang bagaimana umat Islam seharusnya memilih perayaan yang sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contoh, Alloh berfirman:

ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ

Artinya: “Hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridloi Islam sebagai agama bagimu.” (Q.s. Al-Maidah Ayat 3)

Dari ayat ini, dapat diinterpretasikan bahwa Islam telah disempurnakan sebagai agama, dan perayaan agama ini sudah cukup sebagai pedoman bagi umat Islam.

Hadits Nabi Muhammad Saw

Dalam hadits, Baginda Nabi Muhammad Saw memberikan penekanan pada perayaan yang memiliki dasar agama, seperti Iedul Fitri dan Iedul Adha. Beliau tidak secara khusus merayakan perayaan yang tidak terkait dengan ajaran Islam.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah RA;

جاء حبشي يزفون في يوم عيد في المسجد فدعاني النبي صلى الله عليه وسلم فوضعت رأسي على منكبيه وجعلت أنظر إلى لعبهم حتى كنت أنا التي انصرف عن النظر إليهم

Artinya: “Datang kaum Habasyah mereka berzafin pada hari Ied di masjid lalu Rosululloh memanggilku kemudian kepalaku diletakkan di sikutnya agar aku bisa melihat pada permainan mereka hingga aku yang berpaling dari melihat mereka.”

Dan diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dan Ibnu Hibban dengan sanad yang shohih dari sahabat Anas rodliyallohu ‘anhu, beliau berkata:

قدم النبي صلى الله عليه المدبنة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال : قد ابدلكما خيرا منهما يوم الفطر والأضحى

Artinya: “Nabi datang ke Madinah dan penduduk Madinah memiliki dua hari perayaan untuk bermain main. Nabi berkata: Alloh telah mengganti dengan dua hari yang lebih baik darinya yaitu hari Iedul Fitri dan Iedul Adha”.

Dari dua hadits diatas, kita tahu bahwa Nabi telah menunjukkan pentingnya menjaga kekhasan perayaan dalam agama Islam.

Menjauhi Imitasi Tradisi Lain

Islam menekankan untuk menjauhi praktek-praktek yang meniru/tasyabbuh atau diadopsi dari budaya atau agama lain, kecuali jika sudah sesuai dengan nilai-nilai Islam. Merayakan Tahun Baru Masehi, yang berasal dari tradisi Gregorian yang non-Islam, bisa menjadi bentuk imitasi yang sebaiknya dihindari jika memiliki substansi yang mengandung maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam.

Dalam Hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud;

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ) رواه أبو داود

Artinya: “Dari Ibn Umar berkata: Rosululloh Saw bersabda: “Barangsiapa yang berusaha sekuat tenaga menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka”. (H.R. Abu Daud).

Kata “Tasyabbaha” تشبه berubah dari “syabiha” شبه dengan tambahan huruf “Ta” dan syiddah “Ain fi’il” nya dalam bahasa Arab lazim mengandung arti “Takalluf” تكلّف, yang definisinya معاناة الفاعل الفعل ليحصل: Bersusah payahnya pelaku akan perbuatannya sedemikian rupa sehingga berhasil (menyerupai segala sesuatunya dengan mereka yang ingin diserupainya).

Adhim Abadi, penulis kitab ‘Aunul Ma’bud, menjelaskan bahwa hadits ini bermakna umum dan tidak hanya dibatasi dengan meniru perilaku non-muslim. Jadi siapa saja yang meniru gaya, perilaku, dan model suatu kelompok, maka secara tidak langsung dia sudah menjadi bagian dari kelompok yang mereka tiru, termasuk dalam hal ini gaya berpakaian.

Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam tidak memiliki dasar yang jelas dalam ajaran agama. Oleh karena itu, sebaiknya umat Islam lebih memprioritaskan perayaan yang memiliki dasar agama dan tidak meniru tradisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pentingnya menjaga kekhasan perayaan Islam yang telah disempurnakan sebagai agama yang diridloi Alloh Swt adalah prinsip yang dapat membimbing umat Islam dalam memahami hukum merayakan Tahun Baru Masehi.

Dengan demikian, setiap individu diharapkan memiliki kesadaran akan pentingnya nilai-nilai Islam dan niat yang baik dalam setiap perayaan yang mereka pilih.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.