darulmaarif.net – Indramayu, 02 Februari 2023 | 08.00 WIB
Mengidolakan seorang Habaib atau ‘Ulama memang suatu anjuran yang sangat dimuliakan dalam Islam. Tapi jika sampai memakai pakaian dan atribut ‘Ulama atau meniru-niru gaya bicaranya, ini persoalan lain yang harus ditinjau sisi kedudukan hukumnya.
Saat kita mengidolakan seorang Habib atau Ulama, terkadang kita cenderung untuk meniru apa yang ada pada mereka, termasuk cara berpakaian, semisal surban, imamah atau pun jubah. Namun, bagaimanakah hukumnya berpakaian seperti ‘Ulama bagi orang awam?
Ini perlu dibahas, terlebih di zaman ini. Karena tak jarang kita mendapati seseorang yang tidak punya kapasitas keilmuan agama yang mumpuni, tampil dengan jubah kebesarnya.
Atau maraknya kaum urban metropolitan yang trend dengan istilah hijrah syar’i, sehingga banyak menampilkan sisi-sisi simbolik busana para yang biasa dikenakan oleh para ‘Ulama kini dipakai oleh sembarang orang. Apalagi, jika orang-orang awam yang meniru-niru busana para habaib dan ‘Ulama tersebut demi citra lahiriah agar dipandang sebagai sosok yang terlihat ‘alim. Hingga yang terjadi adalah orang itu dianggap sebagai Ulama. Orang-orang pun bertanya padanya tentang hukum, fatwa dan hal-hal penting lain seputar agama.
Maka, bagaimana jika ia yang hanya modal surban, imamah dan jubah besar tapi minim ilmu agama itu memberikan fatwa? Yang terjadi, nanti bisa saja yang halal dibilangnya haram. Begitu sebaliknya: yang halal dianggap haram.
Bahkan bisa jadi, ia membuat pernyataan yang aneh, dengan memahami ayat hanya berdasarkan logika atau pemahamannya sendiri.
Misalnya seseorang yang mengaku Ustadz dan ia pun mengatakan bahwa Ulama dalam Islam tidak terbatas pada manusia, tapi bisa juga dari binatang. Atau, mengutip ayat untuk menguatkan argumennya, tapi kutipannya salah, apalagi uraian terhadap ayat itu tambah ngawur.
Maka, menurut para ‘Ulama, dengan pertimbangan yang telah saya sebutkan, hukum berpakaian seperti ‘Ulama bagi orang dengan pengetahuan agama minim itu haram.
Dalam kitab Tanwirul Qulub karya Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi, beliau menjelaskan sebagai berikut:
ومن البدع توسيع الثياب والأكمام لكنه مكروه لا حرام إلا ما صارشعارا للعلماء فيندب لهم ليعرفوا ويحرم على غيرهم التشبه بهم في ذلك لئلا يغتر بهم فيستفتوا فيفتوا بغير علم
Artinya: “Termasuk dari sebagian bid’ah adalah meluaskan pakaian dan lengan baju, tetapi hukumnya makruh (bid’ah makruh) bukan haram (bid’ah haram), kecuali jika pakaian itu menjadi syiar bagi ulama, maka hukumnya sunnah bagi mereka (ulama) agar diketahui. dan haram bagi selain ulama menyerupai ulama dalam hal ini, agar tidak orang-orang tidak menjadi tertipu, dengan meminta fatwa dan ia pun memberikan fatwa tanpa ilmu.”
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa surban, imamah, jubah atau gamis yang biasanya dipakai oleh seorang ‘Ulama, maka ketika busana-busana itu dikenakan oleh orang yang ahli agama, itu menjadi sunnah bagi mereka dengan tujuan supaya mereka diketahui dan diambil ilmu dan manfaatnya.
Akan tetapi, jika pakaian pakaian kebesaran itu dipakai oleh orang awam yang minim pengetahuan agama maka itu menjadi haram. Dengan alasan agar orang awam tidak menjadi tertipu dan terperdaya.
Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.