Hukum Tarawih Kilat, Apakah Sah Sholatnya?

darulmaarif.net – Indramayu, 18 Maret 2024 | 20.00 WIB

Sholat Tarawih merupakan sholat sunnah yang hanya dilaksanakan di bulan Ramadhan. Tarawih merupakan bentuk plural (jama’) dari bahasa Arab روّح-يروّح-ترويحا yang berarti ‘rehat’, ‘tenang’, atau ‘lepas dari kesibukan’, sehingga seharusnya sholat Tarawih menjadi sholat yang tenang, sebagai sarana ketenangan usai melepaskan diri dari letih dan lelahnya berpuasa seharian.

Berbeda dengan sholat Tarawih di Negara-negara Timur Tengah atau di Saudi Arabia sendiri yang cenderung pelan, bahkan bisa dibilang sholat Tarawih disana cenderung lebih lama karena mengutamakan bacaan-bacaan yang panjang seperti satu roka’at satu dua halaman penuh agar satu bulan penuh bisa satu khatam 30 Juz. Di kalangan umat Islam Indonesia sendiri, ada fenomena menarik di kalangan umat Muslim Indonesia, dimana sholat Tarawih baik yang dikerjakan di masjid maupun di musholla seringkali dikerjakan secara kilat, terburu-buru demi mengejar jumlah roka’at tertentu agar tepat waktu.

Lantas, bagaimana menyikapi sholat Tarawih yang dikerjakan secara kilat? Apakah sholatnya sah?

Untuk menjawab persoalan ini, ada baiknya kita memahami terlebih dulu rukun-rukun dalam ibadah sholat secara umum.

Dalam sholat, kita harus memahami setidaknya ada dua rukun dalam sholat. Yakni rukun qouly (ucapan) dan rukun fi’li (gerakan). Dua rukun ini menjadi syarat mutlak yang menandai sah atau tidaknya sholat seseorang.

Salah satu rukun qouly dalam sholat adalah membaca surat Al-Fatihah. Syekh Zainuddin Al-Malaibari dalam kitabnya Fathul Mu’in menjelaskan syarat-syarat membaca surat Fatihah berikut:

1. Membaca semua ayat secara utuh; 2. Dibaca sewaktu berdiri; 3. Membaca al-Fatihah dengan niat membacanya (menyengaja membacanya); 4. Setidaknya bacaannya terdengar diri sendiri; 5. Membacanya dalam bahasa Arab, tidak boleh diganti bahasa lain; 6. Memperhatikan semua tasydidnya; 7. Memperhatikan huruf-hurufnya; 8. Tidak ada cacat bacaan yang merusak makna; 9. (Muawalah) atau tak terlalu lama menghentikan bacaan; 10. Tertib sesuai urutan ayat dalam mushaf. (Lihat kitab Fathul Mu’in hal. 99)

Setelah itu, ia melanjutkannya dengan pembacaan surat atau ayat Al-Qur’an yang lain. Sebagaimana berlaku umum, pembacaan Al-Qur’an harus tartil, baik di dalam maupun di luar sholat, berdasarkan ayat,

وَرَتِّلِ الۡقُرۡاٰنَ تَرۡتِيۡلًا

Artinya: “Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Q.S Al-Muzammil Ayat 4)

Dalam Syarh Kitab al-Muhadzdzab, Imam An-Nawawi menegaskan, para Ulama sepakat memakruhkan membaca Al-Qur’an dengan tempo cepat. Dijelaskan para Ulama, status makruh ini tentu bacaannya masih benar, tidak keluar dari ketentuan tajwid, dan tidak merusak makna, hanya saja dilakukan agak cepat. Adapun bacaan cepat yang sudah keluar dari ketentuan tajwid, banyak bacaan yang cacat dan sampai merusak makna, boleh jadi bukan makruh lagi, melainkan sudah berdosa sebagai pernyataan para Ulama tajwid:

مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ الْقُرَآنَ آثِمٌ

Artinya: “Barangsiapa saja yang tidak men-tajwid Al-Qur’an, maka ia berdosa.”

Mengapa para Ulama memakruhkan bacaan yang cepat? Kecepatan bacaan dapat mengabaikan aspek tadabbur atau perenungan terhadap kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Padahal, tadabbur lebih mampu mendekatkan pembaca pada ketenangan dan pengagungan kepada Dzat Alloh Swt sang Maha pemilik kalam, serta lebih menyentuh hati. Tak heran, Imam Ibnu ‘Abbas Ra. menyebutkan, pembacaan Al-Qur’an satu surat dengan tartil lebih kusukai dibanding membaca seluruh Al-Qur’an tanpa tartil (dengan cepat).

Selanjutnya, berkaitan dengan rukun fi’li (gerakan) sholat, ada yang namanya thuma’ninah. Thuma’ninah secara bahasa berarti tenang sejenak setelah melakukan gerakan. Pada praktiknya, thuma’ninah dikerjakan disela-sela dua gerakan rukun fi’li dalam sholat dengan kira-kira kadar lamanya thuma’ninah seperti sekali membaca tasbih (lafadz subhanalloh).

Menurut jumhur Ulama baik dari kalangan mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali sepakat mewajibkannya, terutama dalam ruku’ dan sujud.

Hukum thuma’ninah sendiri adalah fardlu seperti kewajiban rukuk dan sujud. Sebagian Ulama Syafi’iyah menjadikan thuma’nihah sebagai rukun sholat tersendiri. Adapun yang menjadi dalil wajibnya thuma’ninah menurut madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali adalah hadits Ralosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori, dari Abu Hurairah Ra.:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا

Artinya: “Jika engkau menunaikan sholat, maka sempurnakanlah wudlu, lalu menghadap kiblat dan mengucap takbir. Lalu bacalah ayat Al-Qur’an yang menurutmu mudah (Al-Fatihah dan surat). Lalu ruku’ lah hingga ruku’ dengan thuma’ninah. Lantas angkatlah kepala hingga berdiri dengan tegak. Lalu sujudlah hingga sujud dengan thuma’ninah. Lalu bangkitlah hingga duduk dengan thuma’ninah. Lalu sujud kembali hingga sujud dengan thuma’ninah. Lalu bangkitlah hingga duduk dengan thuma’ninah. Kemudian, lakukanlah semua itu dalam seluruh sholatmu,”

Dalam pelaksanaan sholat tarawih bagi umat Islam Indonesia yang dikerjakan secara cepat atau kilat, maka solusinya, bagi ma’mum tentang bacaan Al-fatihah nya sebagai berikut:

Pertama, Ulama sepakat bahwa jika ma’mum mendapati imamnya dalam keadaan ruku’ maka bacaan al-Fatihahnya ditanggung oleh imamnya. Artinya, makmum tidak berkewajiban membaca al-Fatihah.

Kedua, Ulama berbeda pendapat, jika ma’mum mendapati imam dalam keadaan berdiri. Imam Syafi’i dan Ahmad menyatakan kewajiban membaca al-Fatihah bagi ma’mum, baik dalam sholat sirriyyah (sholat yang bacaannya dilirihkan), atau dalam sholat jahriyyah (sholat yang bacaannya dikeraskan). Mereka berpegangan pada hadits:

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Artinya: “Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca Surat al-Fatihah.”

Redaksi hadits di atas bersifat umum, sehingga mencakup imam dan ma’mum, serta sholat sirriyyah dan jahriyyah. Barangsiapa tidak membaca al-Fatihah, maka sholatnya tidak sah.

Kesimpulannya, sholat Tarawih kilat dihukumi sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas. Pertama, imam membaca surat al-Fatihah dengan tajwid. Kedua, bacaan cepat dibolehkan (meski makruh) asal tidak keluar dari hukum-hukum tajwid, semisal imam membaca dengan tempo tadwir atau hadr. Ketiga, meksipun sholat Tarawih dikerjakan secara cepat, imam dan ma’mum sholat tetap harus memperhatikan thuma’ninah sholat, seperti thuma’ninah nya ruku’ dan sujud.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.