darulmaarif.net – Indramayu, 13 November 2025 | 16.00 WIB
Di tengah kehidupan rumah tangga modern yang sering kali disibukkan oleh urusan pekerjaan, tekanan ekonomi, dan perubahan gaya hidup, banyak pasangan suami istri tanpa sadar melupakan aspek sederhana namun mendasar: kebersihan diri dan kenyamanan pasangan. Tak jarang muncul konflik batin di antara suami-istri bukan karena masalah besar seperti ekonomi atau anak, melainkan hal yang tampak sepele — seperti bau badan, kebersihan mulut, atau penampilan yang amburaduk. Padahal, dalam pandangan fiqh, persoalan kebersihan bukan hanya soal etika sosial, tetapi juga berimplikasi langsung terhadap hak dan kewajiban suami-istri. Islam memandang bahwa kebersihan adalah bagian dari iman, dan menjaga kenyamanan pasangan merupakan wujud kasih sayang serta tanggung jawab moral.
Dari persoalan yang tampak sederhana itu, para ulama fikih menaruh perhatian mendalam terhadap bagaimana Islam menyeimbangkan hak dan kewajiban antara suami dan istri, termasuk dalam hal-hal yang berkaitan dengan kebersihan dan kenyamanan jasmani.
Dari sini kemudian muncul satu pertanyaan penting yang layak direnungkan:
Apakah seorang istri berdosa dan dianggap nusyuz ketika ia menolak ajakan suami, hanya karena merasa jijik dengan bau badan, kotoran, atau ketidakrapian suaminya?
Istri boleh menolak dan tidak berdosa serta tidak tergolong Nusyuz, sebaliknya suami wajib menghilangkan bau tersebut. Sebagaimana keterangan berikut:
(وَسُئِلَ) عَمَّا إذَا امْتَنَعَتْ الزَّوْجَةُ مِنْ تَمْكِينِ الزَّوْجِ لِتَشَعُّثِهِ وَكَثْرَةِ أَوْسَاخِهِ هَلْ تَكُونُ نَاشِزَةً؟
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ لَا تَكُونُ نَاشِزَةٌ بِذَلِكَ وَمِثْلُهُ كُلُّ مَا تُجْبَرُ الْمَرْأَةُ عَلَى إزَالَتِهِ أَخْذًا مِمَّا فِي الْبَيَانِ عَنْ النَّصِّ أَنَّ كُلَّ مَا يَتَأَذَّى بِهِ الْإِنْسَانُ يَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ إزَالَتُهُ.
Artinya: “(Beliau ditanya) tentang seorang istri yang menolak berhubungan (menyerahkan diri) kepada suaminya karena keadaan suami yang berpenampilan acak-acakan dan banyak kotoran pada tubuhnya; apakah istri tersebut dianggap nusyūz (durhaka)?
(Beliau menjawab): Istri tersebut tidak dianggap nusyūz karena hal itu. Demikian pula hukumnya pada setiap perkara yang menyebabkan istri dipaksa untuk menghindarinya, berdasarkan penjelasan dalam al-Bayān dari an-Naṣṣ, bahwa setiap sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan atau rasa tidak nyaman bagi manusia, maka wajib bagi suami untuk menghilangkannya. (al-Fatāwā al-Fiqhiyyah al-Kubro, jilid 4 halaman 208 [Maktabah al-Syāmilah])
Dalam kitab at-Tahdziib fil Fiqh al-Imamis Syafi’i, Juz IV, hal. 454 dijelaskan bahwa istri tidak dianggap nusyuz (durhaka) apabila ia menolak berhubungan atau memberi pelayanan kepada suami karena suaminya dalam keadaan kotor, berbau, atau berpenampilan menjijikkan yang menyebabkan gangguan atau ketidaknyamanan yang tidak dapat ditoleransi secara wajar.
فنشوز الزوجة كخروجها من البيت بغير إذنه لا إلى قاض يطلب الحق منه -إلى أن قال- وكمنعها له من الاستمتاع بها ولو بغير جماع كقبلة حيث لا عذر في إمتناعها منها فان عذرت كأن كان به صنان او بخر مستحكام وتأذت به تأذيا لا يحتمل عادة لم تعد ناشزة وتصدق في ذلك إن لم تدل قرينة على كذبها. وسئل العلامة ابن حجر عما إذا امتنعت الزوجة من تمكين الزوج لتشعثه وكثرة أوساخه هل تكون نازيزة ام لا ؟ فأجاب لا تكون ناشيزة بذالك ومثله كل ما تجبر المرأة على إزالته أخذا بما في” البيان” أن كل ما يتأذى به إنسان يجب على الزوج إزالته
Artinya: “Nusyuz (kedurhakaan) seorang istri itu, misalnya keluarnya istri dari rumah tanpa izin suaminya, kecuali bila ia keluar menuju hakim untuk menuntut haknya dari suami.
— Kemudian beliau berkata — Begitu pula jika istri menolak suami untuk menikmati dirinya, sekalipun bukan dalam bentuk jima‘ (hubungan badan), seperti menolak ciuman, selama tidak ada alasan yang dibenarkan untuk menolak. Namun, apabila ia memiliki alasan yang dapat diterima, misalnya karena pada tubuh suami terdapat bau tidak sedap (seperti keringat busuk atau bau mulut yang kuat) yang menyebabkan istri merasakan gangguan atau ketidaknyamanan yang tidak mungkin ditahan secara wajar, maka ia tidak dianggap nusyuz (durhaka). Istri dapat dipercaya dalam hal itu, selama tidak terdapat bukti atau tanda yang menunjukkan bahwa ia berdusta.
Kemudian al-‘Allāmah Ibnu Ḥajar pernah ditanya tentang seorang istri yang menolak berhubungan dengan suaminya karena suaminya berpenampilan acak-acakan dan tubuhnya kotor, apakah ia dianggap nusyuz atau tidak? Beliau menjawab:
Istri tersebut tidak dianggap nusyuz karena alasan itu. Demikian pula hal-hal lain yang membuat istri terpaksa menolak karena sebab yang layak, berdasarkan apa yang disebutkan dalam al-Bayān, bahwa: “Setiap sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan atau rasa tidak nyaman bagi seseorang, maka wajib bagi suami untuk menghilangkannya.” (at-Tahdziib fil Fiqh al-Imamis Syafi’i, Juz IV, hal. 454)
Pada akhirnya, kebersihan dalam rumah tangga bukan hanya urusan penampilan lahir, melainkan cerminan dari adab, kasih sayang, dan penghormatan terhadap pasangan. Islam memandang hubungan suami-istri bukan sebagai ruang kekuasaan satu pihak atas pihak lain, tetapi sebagai ladang saling menenangkan dan menumbuhkan cinta. Maka, seorang suami yang menjaga kebersihan tubuh dan kerapian diri sesungguhnya sedang menunaikan bagian dari mu‘āsyarah bil ma‘rūf — bergaul secara baik sebagaimana diajarkan Islam.
Rumah tangga yang berlandaskan kebersihan, saling menghormati, dan kasih sayang bukan hanya membawa ketenangan lahiriah semata, tetapi juga menjadi tempat kedamaian hati dan jiwa setiap pasangan suami istri.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.