Cara Orangtua Atasi Anak yang Susah Diatur Menurut Islam

darulmaarif.net – Indramayu, 05 Juni 2024 | 08.00 WIB

Menghadapi anak yang susah diatur menjadi tantangan sendiri bagi orangtua. Pasalnya, di satu sisi orangtua ingin mendidik anak agar lebih disiplin, namun di sisi lain mereka tidak ingin anak tumbuh dengan trauma karena pola asuh yang salah.

Dalam Islam, pendekatan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mengedepankan nilai-nilai kasih sayang. Ini merupakan metode mendidik anak dalam Islam yang dicontohkan oleh Rosululloh Saw.

Namun, metode tersebut mungkin dapat dapat salah diartikan orangtua sehingga membuat anak justru semakin manja. Lantas, bagaimana sebaiknya cara mengatasi anak yang susah diatur menurut Islam dengan benar?

Cara Mengatasi Anak yang Susah Diatur Menurut Islam

Mendidik anak dalam Islam pada dasarnya mencontoh perilaku baginda Nabi Muhammad Saw dalam membina keluarga dan sahabatnya. Sebab, segala sesuatu yang dilakukan oleh beliau merupakan manifestasi dari kandungan ayat-ayat Al-Qur’an.

Dalam kitab Sunan Abu Dawud, Imam Abu Dawud Sulaiman memasukkan sebuah riwayat menarik tentang Sayyidina Anas dan Rosululloh Saw. Berikut riwayatnya:

أَنَسٌ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ خُلُقًا فَأَرْسَلَنِي يَوْمًا لِحَاجَةٍ فَقُلْتُ وَاللَّهِ لَا أَذْهَبُ وَفِي نَفْسِي أَنْ أَذْهَبَ لِمَا أَمَرَنِي بِهِ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, قَالَ: فَخَرَجْتُ حَتَّى أَمُرَّ عَلَى صِبْيَانٍ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي السُّوقِ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَابِضٌ بِقَفَايَ مِنْ وَرَائِي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَضْحَكُ فَقَالَ: يَا أُنَيْسُ اذْهَبْ حَيْثُ أَمَرْتُكَ, قُلْتُ: نَعَمْ أَنَا أَذْهَبُ يَا رَسُولَ اللَّهِ, قَالَ أَنَسٌ: وَاللَّهِ لَقَدْ خَدَمْتُهُ سَبْعَ سِنِينَ أَوْ تِسْعَ سِنِينَ مَا عَلِمْتُ قَالَ لِشَيْءٍ صَنَعْتُ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا وَلَا لِشَيْءٍ تَرَكْتُ هَلَّا فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا

Anas bin Malik berkata: “Rosululloh Saw adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Aku berkata: ‘Demi Alloh, aku tidak akan pergi (mengerjakan perintahnya).’ Padahal diriku sebenarnya ingin pergi melaksanakan apa yang diperintahkan Nabi Alloh Saw kepadaku.”

Anas berkata: “Lalu aku keluar (rumah). Aku melewati sekumpulan anak-anak yang sedang bermain di pasar, tiba-tiba Rosululloh Saw memegang tengkukku dari belakang, aku melihat kepadanya, dan beliau sedang tertawa, kemudian berkata: “Wahai Anas, pergilah sebagaimana yang kuperintahkan padamu (tadi).” Aku menjawab: “Baik, aku akan pergi (melaksanakannya), ya Rosulalloh.”

Anas berkata: “Demi Alloh, sudah tujuh atau sembilan tahun aku mengabdi kepadanya, aku tidak pernah (mendengarnya mengomentari) kesalahan yang kulakukan dalam mengerjakan sesuatu dengan berkata: “Kenapa kau melakukannya begini dan begini,” atau mengomentari (kelalaianku) melakukan sesuatu dengan berkata: “Kenapa kau tidak melakukan ini dan ini.” (Imam Abu Dawud, Sunan Abî Dawud, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, tt, juz 4, h. 246-247)

Riwayat ini menunjukkan bahwa Sayyidina Anas adalah anak kecil yang memiliki dunianya sendiri, gemar bermain, dan bersenang-senang. Andaipun disuruh melakukan sesuatu, tanpa segan ia mengatakan, “tidak”, meski yang menyuruhnya adalah Rosululloh. Ini bukan hal yang aneh, karena begitulah anak kecil.

Menariknya, Rosululloh Saw tidak menampakkan kemarahan, berwajah masam, dan menghardiknya dengan keras. Cara bersikap Rosululloh saat mendengar kalimat, “aku tidak akan pergi melakukannya,” adalah meninggalkannya.

Sejurus kemudian, ketika beliau menjumpai Sahabat Anas di pasar, beliau memegang tengkuknya dan berkata, “Wahai Anas, pergilah sebagaimana yang kuperintahkan padamu (tadi).”

Sahabat Anas lalu menjawab, “Baik, aku akan pergi (melaksanakannya), ya Rosulalloh.” Ini menarik, karena Rosululloh tidak bertanya, “Apa kau sudah melaksanakan perintahku?”

Jika Rosululloh menanyakan itu, bisa jadi Sahabat Anas bingung menjawabnya, karena ia belum melakukannya. Bisa saja pertanyaan semacam itu membuatnya terpojok dan akhirnya berbohong.

Karena itu, Rosululloh menggunakan pendekatan teladan yang baik dan mudah dimengerti oleh anak kecil, didukung dengan wajah beliau yang sama sekali tidak menunjukkan kemarahan, malah tertawa lepas tanpa beban.

Hal menarik lainnya adalah jeda yang diberikan Rosululloh. Ketika perintahnya ditolak Sahabat Anas, beliau memberinya ruang agar ia tidak merasa ditekan. Anak kecil tentunya berbeda dengan orang dewasa.

Bagi anak kecil, ancaman dirasakan sebagai tekanan, karena fitrahnya memang suka bermain-main. Karena itu, selama sepuluh tahun melayaninya, Rosululloh tidak pernah sekalipun berkata kasar dan menyalahkannya.

Sikap baginda Rosululloh inilah yang menumbuhkan rasa tidak enak hati secara alami dalam perasaan Sahabat Anas. Karena selama bertahun-tahun bersama Rasulullah, ia tidak pernah merasa dipertentangkan dengan keadaan yang membuatnya berbohong, dan dibandingkan dengan anak kecil lainnya hingga menimbulkan perasaan kurang dihargai.

Sikap baginda Rosululloh ini menunjukkan bahwa dunia anak-anak adalah dunia yang tidak bisa dipandang secara menyeluruh dengan perspektif orang dewasa. Karena itu, Rosululloh memperlakukan Sahabat Anas sebagai anak kecil, bukan sebagai orang dewasa, sehingga apapun kesalahan yang dilakukannya, ia tidak menyalahkannya, tapi memberinya contoh yang benar.

Semoga bermanfaat. Wallohu A’lam.