Bersedekah, Cara Alternatif Membentuk Karakter Anak Sholeh

darulmaarif.net – Indramayu, 26 Januari 2023 | 09.00 WIB

Dalam tradisi Jawa, biasanya jika ada orang mempunyai anak kecil, ia akan membuat semacam selametan bisa berupa nasi tumpeng atau sejenisnya, yang kemudian dibagi-bagikan kepada para tetangga atau warga sekitarnya.

Bancaan dalam tradisi Jawa merupakan bentuk sedekah dalam bahasa agama. Jika dalam tradisi modern kita mengenal acara tiup lilin dan potong kue kala perayaan ulang tahun anak, bancakan merupakan tradisi turun-temurun nenek moyang berupa makan bersama dalam sebuah nampan atau wadah. Bancakan tidak mesti harus menunggu kapan hari neptu-nya atau sesuai kapan hari lahirnya, tapi bancaan atau sedekahan perlu dilakukan sesering mungkin.

Baginda Rosululloh Saw bersabda:

الصَّدَقَةُ تَسُدُّ سَبْعِيْنَ بَابًا مِنَ السُّوْءِ
Artinya: “Sedekah itu menutup 70 pintu keburukan.” (HR. Imam At-Thobaroni)

Anak ndhugal atau nakal dalam sofisme Jawa merupakan suatu keburukan, tidak mau belajar rajin merupakan sebuah keburukan, ora manutan (tidak patuh) terhadap kedua orang tua juga keburukan, tidak mau mengaji juga keburukan, dan berbagai keburukan yang lain, maka sebagai upaya orangtua, untuk menutup atau menangkal keburukan-keburukan tersebut perlu bersedekah atau bancakan yang dilakukan oleh orangtua yang pada saat ia memberikan sedekahnya sembari berniat mbancak’i atau nyedekahi anaknya.

Sedekah tidak melulu dengan harta. Kita bisa memilih sedekah sesuai dengan kadar kemampuan kita. Seperti yang disabdakan Rosululloh Saw:

, مَنْ كَانَ لَهُ عِلْمٌ فَلْيَتَصَدَّقْ بِعِلْمِهِ وَمَنْ كَانَ لَهُ قُوَّةٌ فَلْيَتَصَدَّقْ بِقُوَّتِهِ مَنْ كَانَ لَهُ مَالٌ فَلْيَتَصَدَّقْ بِمَالِهِ

Artinya”Barangsiapa memiliki harta, bersedekahlah ia dengan hartanya; Barangsiapa memiliki ilmu, bersedekahlah ia dengan ilmunya; “Serta, barangsiapa yang memiliki tenaga, bersedekahlah ia dengan tenaganya.” (HR. Sahabat Anas bin Malik)

Yang pertama adalah sedekah dengan harta. Sedekah dengan harta tidak juga harus berupa uang. Sedekah bisa berupa pakaian bekas yang masih layak pakai namun sudah tidak kita pakai, kita berikan kepada orang lain, itu juga namanya sedekah. Ada orang makan, ada kucing mendekat lalu ia ambil dagingnya, kucingnya dikasih tulang, itu juga sedekah. Memberikan nafkah kepada anak-istri itu juga sedekah bahkan pada saat kita makan, lalu ada makanan yang tercecer dimakan semut dan kita niatkan untuk membiarkannya, itu juga sedekah harta yang kesemuanya itu jika kita niatkan untuk menyedekahi atau mbancak’i anak kita, insyaalloh akan menghindarkan anak kita dari berbagai macam keburukan.

Kedua, barang siapa yang mempunyai ilmu, maka bersedekahlah dengan ilmunya. Artinya pada saat orang tua mengajari anaknya sendiri, ada guru yang mengajari anak didiknya, kiai mengajari santrinya, semua hal ini adalah sedekah, maka niatkan itu semua pahala untuk anak kita.

Yang ketiga adalah barangsiapa yang memiliki tenaga, bersedekahlah ia dengan tenaganya. Hal ini berlaku baik bagi orang kaya maupun miskin, semuanya mempunyai kesempatan yang sama. Saat kita berpapasan dengan orang tua, kita bantu mengangkat barangnya, atau membersihkan masjid atau bahkan hanya menyalakan saklar lampu masjid, atau sekadar tersenyum kepada saudara kita itu juga bisa bernilai sedekah yang kalau kita niatkan untuk anak-anak kita, anak kita akan mendapatkan atsar atau bekas barokahnya amalan-amalan tersebut.

Mengelola anak tidak hanya semata-mata memberikan mereka makan, minum, pakaian dan kebutuhan-kebutuhan hayawaniyah (biologis) mereka semata, namun perlu juga pendidikan ruhani bagi mereka yang tidak selalu kasat mata, dan inilah pendidikan yang terpenting oleh sebab ruh adalah inti dari segala hal laku hidup manusia. Karena itu orang tua perlu banyak melakukan tirakat (riyadloh) supaya anak-anaknya diberikan belas kasih dari Alloh dari sababiyah sedekahnya orang tua setiap saat yang pahalanya diniatkan untuk anak-anaknya.

Betapa banyak orang tua yang mendidik anaknya dengan keras, namun anaknya malah justru semakin jauh, semakin tidak menurut kepada orangtua. Jika demikian keadaannya, orangtua perlu sadar, ada langkah-langkah yang perlu ia tempuh supaya anaknya menjadi anak yang dibina sesuai tuntunan agama, selain tentu soal bagaimana shalatnya, puasanya dan lain sebagainya tetap harus diperhatikan dengan baik dan seksama.

Setiap manusia yang lahir ke dunia pada mulanya adalah fitroh, seperti kertas kosong. Namun, seiring berjalannya waktu, orangtua menentukan corak anak menjadi beraneka warna. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairoh r.a:

وَ عَنْهُ اَيْضًا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ مَا مِنْ مَوْلِدٍ اِلَّا يُوْلَدُ عَلَى الْفِتْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Artinya: “Dan diriwayatkan dari Abu Hurairoh r.a juga, bahwa sesungguhnya Rosululloh Saw bersabda: ‘tidak ada seorang manusia yang terlahir kecuali dia terlahir atas fitroh (kesucian seperti tabula rasa, kertas yang belum ditulis apapun, masih putih). Maka kedua orang tuanya lah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.’ (HR. Imam Malik dalam Al-Muwattho’, 507)

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.