darulmaarif.net – Indramayu, 01 Desember 2024 | 16.00 WIB
Saat pasangan suami istri berhubungan seksual, sebagian pasangan memilih untuk menerapkan metode withdrawal (pull-out method) atau menarik penis dari vagina tepat sebelum ejakulasi terjadi demi mencegah kehamilan.
Dalam Islam, withdrawal (pull-out method) atau disebut dengan ‘Azl. ‘Azl berarti menumpahkan sperma di luar vagina ketika terjadi ejakulasi. Pasutri yang biasa melakukan ‘azl, bertujuan untuk mencegah kehamilan, mengatur atau membatasi keturunan.
Gambaran ‘azl terhadap pasangan adalah ketika akan mendekati keluarnya mani (ejakulasi), kemaluan sengaja ditarik keluar vagina sehingga sperma tumpah di luar. Hal ini bisa jadi dilakukan karena ingin mencegah kehamilan, atau pertimbangan lain seperti memperhatikan kesehatan istri, janin atau anak yang sedang menyusui (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 81).
Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaily, beliau mendefinisikan ‘azl sebagai berikut:
العزل (إلقاء منيّ الرجل خارج الفرج) {نيل الأوطار٦ \١٩٦، الفقه الإسلام وأدلّته}
Artinya: “‘Azl-mengeluarkan sperma laki-laki di luar vagina perempuan.” (Wahbah Az-Zuhaily, Fiqhul Islam Wa Adullatuhu dalam Naylul Author, Juz VI hal. 196)
Lantas, apa hukum withdrawal (pull-out method) atau ‘azl menurut pendapat para Ulama?
Hukum asal ‘azl adalah makruh. Tetapi hukumnya bisa berkembang sesuai dengan illatnya (motif). Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum ‘azl pada istri.
Pendapat pertama menyatakan boleh secara mutlak (tanpa syarat), baik diizinkan oleh istri atau pun tidak. Namun jika seseorang meninggalkannya, maka itu lebih baik. Inilah pendapat yang rojih (pendapat lebih kuat) menurut Syafi’iyah. Alasannya, karena hak istri adalah disenangkan (dengan melakukan ‘azl pun sudah terpenuhi), walau tidak keluar mani. Namun untuk melakukan ‘azl disunnahkan meminta izin pada istri terlebih dahulu.
Pendapat kedua membolehkan dengan bersyarat (ada hajat). Namun jika tidak ada hajat, maka dimakruhkan. Inilah yang menjadi pendapat ‘Umar, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud dan Imam Malik. Pendapat ini menjadi pendapat kedua di kalangan Syafi’iyah. Pendapat ini juga menjadi pendapat ulama Hanafiyah. Namun pendapat ini membolehkan ‘azl tanpa izin istri jika zaman telah rusak dan bisa memberikan pengaruh buruk pada anak yang dilahirkan nantinya.
Imam Al-Ghazali sendiri berpendapat bahwa hukum ‘azl adalah boleh, tidak sampai makruh apalagi haram, sama dengan tiga kasus pertama yang sama-sama sekadar tarkul afdhal atau sekadar meninggalkan keutamaan. Imam Al-Ghazali menjelaskan:
وَإِنَّمَا قُلْنَا لَا كَرَاهَةَ بِمَعْنَى التَّحْرِيمِ وَالتَّنْزِيهِ، لِأَنَّ إِثْبَاتَ النَّهْيِ إِنَّمَا يُمْكِنُ بِنَصٍّ أَوْ قِيَاسٍ عَلَى مَنْصُوصٍ، وَلَا نَصَّ وَلَا أَصْلَ يُقَاسُ عَلَيْهِ. بَلْ هَهُنَا أَصْلٌ يُقَاسُ عَلَيْهِ، وَهُوَ تَرْكُ النِّكَاحِ أَصْلًا أَوْ تَرْكُ الْجِمَاعِ بَعْدَ النِّكَاحِ أَوْ تَرْكُ الْإِنْزَالِ بَعْدَ الْإِيلَاجِ، فَكُلُّ ذَلِكَ تَرْكٌ لِلْأَفْضَلِ وَلَيْسَ بِارْتِكَابِ نَهْيٍ. وَلَا فَرْقَ إِذِ الْوَلَدُ يَتَكَوَّنُ بِوُقُوعِ النُّطْفَةِ فِي الرَّحْمِ
Artinnya: “Saya berpendapat bahwa ‘azl hukumnya tidak makruh dengan makna makruh tahrîm atau makrûh tanzîh, sebab untuk menetapkan larangan terhadap sesuatu hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyâs pada nash, padahal tidak ada nash maupun asal atau sumber qiyâs yang dapat dijadikan dalil memakruhkan ‘azl. Justru yang ada adalah asal qiyâs yang membolehkannya, yaitu tidak menikah sama sekali, tidak bersetubuh setelah pernikahan, atau tidak inzâl atau menumpahkan sperma setelah memasukkan penis ke vagina. Sebab semuanya hanya merupakan tindakan meninggalkan keutamaan, bukan tindakan melakukan larangan. Semuanya tidak ada bedanya karena anak baru akan berpotensi wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan. (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II, halaman 51).
Tetapi, sekali lagi bila ada pertimbangan khusus yang sekiranya dapat melahirkan “problem” karena kehamilan itu, Imam Al-Ghazali sendiri menyarankan agar kehamilan sebaiknya direncanakan.
إلا أن الشافعية والحنابلة وقوماً من الصحابة قالوا بكراهة العزل؛ لأن الرسول صلّى الله عليه وسلم في حديث مسلم عن عائشة سماه الوأد الخفي، فحمل النهي على كراهة التنزيه. وأجاز الغزالي العزل لأسباب منها كثرة الحرج بسبب كثرة الأولاد. وبناء عليه يجوز استعمال موانع الحمل الحديثة كالحبوب وغيرها لفترة مؤقتة، دون أن يترتب عليه استئصال إمكان الحمل، وصلاحية الإنجاب
Artinya, “Hanya ulama dari kalangan madzhab Syafi’I, Hanbali, dan sejumlah sahabat menyatakan kemakruhan azal karena Rasulullah SAW dalam riwayat Muslim dari Siti Aisyah menyebut azal sebagai pembunuhan samar-samar. Larangan dalam riwayat ini dipahami sebagai makruh tanzih yang sebaiknya tidak dilakukan. Tetapi Imam Al-Ghazali membolehkan azal karena sejumlah sebab, salah satunya kemunculan banyak ‘problem’ yang dipicu oleh kebanyakan anak. Atas dasar pandangan Al-Ghazali ini, penggunaan alat kekinian perencanaan jumlah anak seperti pil KB atau media KB lainnya untuk jangka waktu tertentu yang tidak berdampak pada penutupan sama sekali kemungkinan kehamilan atau tidak merusak benih janin normal, diperbolehkan,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, cetakan kedua, 1985 M/1305, Beirut, Darul Fikr, juz 3, halaman 554-555).
Demikian hemat penulis terkait hukum ‘azl. Hukum asalnya memang makruh, tapi hukum ‘azl berkembang sesuai dengan illat atau motif dari pasangan suami istri itu sendiri.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.
Referensi lain:
العزل: وهو الإنزال خارج الفرج بعد النزع منه، لا مطلقاً. ومن المعاشرة الطيبة: ألا يعزل عن امرأته الحرة بغير إذنها، فيكره العزل بالاتفاق بغير رضاها؛ لأن الوطء عن إنزال سبب لحصول الولد، ولها في الولد حق، وبالعزل يفوت الولد (1).
ودليل جواز العزل قول جابر: «كنا نعزل على عهد رسول الله صلّى الله عليه وسلم والقرآن ينزل» (2) ولمسلم: «كنا نعزل على عهد رسول الله صلّى الله عليه وسلم، فبلغه ذلك، فلم ينهنا».
ودليل كراهية العزل: حديث جُذَامة بنت وهب الأسدية بلفظ: «حضرت رسول الله صلّى الله عليه وسلم في أناس، وهو يقول: لقد هممت أن أنهى عن الغيلة، فنظرت في الروم وفارس، فإذا هم يغيلون أولادهم، فلا يضر أولادهم شيئاً، ثم سألوه عن العزل، فقال: ذلك الوأد الخفي، وهي: وإذا الموءودة سئلت» (3).
(1) البدائع: 234/ 2، الدر المختار: 521/ 2 وما بعدها، القوانين الفقهية: ص 212، المهذب: 66/ 2، تكملة المجموع: 578/ 15، كشاف القناع، المكان السابق.
(2) متفق عليه عن جابر (نيل الأوطار: 195/ 6).
(3) رواه أحمد ومسلم، والمراد بالغيلة: أن يجامع امرأته وهي مرضع، وقال ابن السكّيت: هي أن ترضع المرأة وهي حامل، وذلك لما يحصل للرضيع من الضرر بالحمل حال إرضاعه (نيل الأوطار: 196/ 6