Anies Sebut Meritokrasi Solusi dari Sistem Politik Ordal, Ternyata Begini Kata Islam

darulmaarif.net – Indramayu, 16 Desember 2023 | 08.00 WIB

“Dua persyaratan utama adalah adanya pemimpin bangsa yang kompeten dan berakhlak mulia serta terbangunnya masyarakat meritokrasi.”

Dalam debat capres perdana Paslon Capres AMIN Nomor Urut 1, Anies Baswedan mengkritik praktik “ordal” atau kependekan “orang dalam” yang mengebiri kemampuan seseorang.

Sebaliknya Anies Baswedan menyebutkan istilah meritokrasi sebagai lawannya, yang ternyata istilah tersebut masih terdengar asing bagi sebagian orang.

Meritokrasi adalah kata yang berasal dari kata Merit atau Manfaat, meritokrasi merujuk kepada sistem politik yang memberikan penghargaan khusus kepada mereka yang berprestasi, dengan kata lain yang berkemampuan menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan.

Dalam sistem meritokrasi, seseorang yang memiliki kemampuan atau prestasi yang lebih baik akan memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan kesempatan atau posisi yang lebih baik.

Istilah meritokrasi pertama kali digunakan oleh sosiolog Michael Dunlop Young dalam bukunya yang berjudul “The Rise of the Meritocracy” yang diterbitkan pada tahun 1958.

Meritokrasi dalam Islam

Jauh sebelum istilah meritokrasi Michael Young, meritokrasi sudah jauh-jauh abad telah ditetapkan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw kepada para sahabatnya.

Ada sebuah ayat Al-Qur’an tentang meritokrasi, di Surat Al-Baqoroh ayat 148:

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ أَيْنَ مَا تَكُونُوا۟ يَأْتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Alloh akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.s Al-Baqoroh Ayat 148)

yaitu Fastabiqul khairat (فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ) yang artinya “Berlomba-lombalah dalam berbuat kebaikan”. Rosululloh Saw mengajarkan tentang aplikasi berlomba-lomba dalam kebaikan ini dalam beberapa peristiwa bersejarah.

Pertama kita bisa melihat di perang pertama melawan kebatilan yaitu perang Badar. Rosululloh Saw membagi dua bagian pasukan perang yaitu pasukan Muhajirin yang dipimpin oleh Ali bin Abi Tholib dan satu lagi pasukan Anshor yang dipimpin oleh Sa’ad bin Muadz Rodliyallohu ‘anhu.

Salah satu hikmah dari pembagian pasukan berdasarkan kelompok keislaman ini adalah agar setiap kelompok berlomba menumpas pasukan kebatilan. Siapa di antara kelompok tersebut yang berhasil keluar sebagai pemenang.

Peristiwa kedua adalah di dalam perang Khondaq yang terjadi di musim dingin. Saat itu malam begitu gelap, cuaca sangat dingin sementara kondisi para sahabat dalam keadaan sangat kelaparan, sangat haus dan sangat ketakutan. Mereka akan bertempur melawan pasukan musuh yang merupakan gabungan musuh yang terkuat saat itu.

Baginda Rosululloh Saw menginginkan ada salah satu sahabat yang menyusup ke dalam pasukan musuh untuk mencari informasi yang dibutuhkan. Kemudian Rosululloh Saw melombakan hal ini dengan bersabda “Siapa di antara kalian yang berani menyusup ke pasukan musuh dan mencari informasi yang aku butuhkan niscaya ia akan menjadi temanku di dalam surga”. Metode seperti ini (meritokrasi) ternyata sering diterapkan oleh Rosululloh Saw.

Kata Khoyroot (خيرات) di dalam ayat tersebut merupakan kata jama’ yang menunjukkan bahwa yang dimaksud kebaikan bukan hanya satu kebaikan tetapi kebaikan kebaikan. artinya bila telah selesai melakukan satu kebaikan maka lakukan kebaikan yang lain. Kita diminta istiqomah di dalam melakukan kebaikan.

Apakah dengan sistem berlomba-lomba ini akan mendatangkan rasa hasad pada mereka yang dikalahkan yang lain dalam hal kebaikan? Tentu saja tidak karena orang yang berlomba dalam kebaikan menginginkan kebaikan sementara rasa hasad bukanlah sebuah kebaikan malah sebaliknya merupakan sebuah keburukan.

Meritokrasi Sebagai Asas Islam

Dalam banyak hal, aspek kepemimpinan atau leadership dalam Islam yang menyangkut masalah duniawi di luar ritual keagamaan tidak berasas pada asas primordial seperti istilah ‘seiman’, ‘sesuku’, ‘seras’, ‘sedarah’, dan lain sebagai nya.

Kepemimpinan adalah amanah, tanggung jawab keahlian dalam suatu bidang yang diberikan kepada seseorang sesuai dengan taraf keahliannya.

Ditarik dalam konteks kepemimpinan, pemaknaan kata ‘ahli’ selaras dengan masalah kepemimpinan dan amanah sebagaimana hadits riwayat Imam Bukhori yang mencatat bahwa Nabi menjawab pertanyaan seorang Badui bahwa suatu perkara akan menghadapi kehancuran jika diserahkan pada yang bukan ahlinya.

فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

Artinya: “Apabila amanah sudah hilang, maka tunggulah terjadinya kiamat”. Orang itu (Arab Badui) bertanya, “Bagaimana hilangnya amanat itu?” Nabi saw menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (H.R Imam Bukhori)

Secara gamblang, makna hadits di atas mempertegas ketika peran-peran penting di tengah masyarakat diberikan pada sosok yang tidak memiliki kompetensi dan keahlian dalam memimpin, mengelola dan mengurus maka kehancuran pun akan datang.

Oleh karena itu, Islam dalam memandang kepemimpinan lebih mengutamakan pada kemampuan dan karakter amanah. Bukan pada unsur identitas dan populis seperti golongan tertentu, lebih-lebih sistem feodal yang mengutamakan nasab, orang dalem atau hubungan darah.

Baginda Nabi sendiri, bahkan menolak permintaan pamannya sendiri yang muslim, ‘Abbas ibn Abdul Mutholib untuk memimpin pengelolaan Ka’bah dan Haji dan tetap memberikannya pada Usman ibn Thalhah yang beragama Nasrani.

“Dalam Islam, nasab tidak selalu menentukan nasib. Karena nasib ditentukan oleh kasab atau ketekunan dalam bekerja. Dalam Islam, seseorang itu bisa menjadi apapun atau menjadi siapapun.”

Dalam ajaran Islam, semangat meritokrasi bisa memberikan kesempatan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan dan prestasi untuk bersaing secara sehat.

Kami menilai apa yang disampaikan Pak Anies Rasyid Baswedan tersebut memang tidak hanya sekadar pepesan kosong, akan tetapi meritokrasi yang menjadi lawan dari politik “ordal” yang marak terjadi sekarang memiliki akar sejarah yang kuat dalam sejarah peradaban Islam, juga ajaran yang dipraktikkan baginda Nabi Muhammad Saw kepada para sahabatnya.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.