darulmaarif.net – Indramayu, 14 Januari 2023 | 08.00 WIB
Netizen geger. Berita menggemparkan datang dari Ponorogo – Jawa Timur. Sebanyak 266 siswi di Ponorogo dikabarkan hamil di luar nikah. Kabar ini muncul ke permukaan setelah mereka mengajukan dispensasi untuk menikah dini ke Pengadilan Agama (PA).
Banyaknya pelajar SMP dan SMA hamil di luar nikah ini mengejutkan banyak kalangan, terutama pihak Dinas Pendidikan Ponorogo dan Kementerian Agama (Kemenag). Data adanya ratusan pelajar yang hamil di luar nikah ini diperoleh dari jumlah siswi yang mengajukan dispensasi nikah ke PA Ponorogo.
Lantas, bagaimana pendapat Islam mengenai ratusan remaja Ponorogo atas kejadian hamil di luar nikah? Tentunya, hal ini mengundang banyak pertanyaan dan juga argumen.
Di zaman akhir ini, banyak manusia yang melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibat dari perbuatannya, yang penting apa yang diinginkan dapat terpenuhi dengan segera. Baik dengan cara yang halal maupun yang haram.
Salah satunya yaitu pengumbaran nafsu seksual tanpa ada kehalalan, terlebih yang dilakukan para remaja, yang amat rentan terjerumus kedalam perbuatan hina ini. Namun apa mau dikata jika perbuatan zina sudah terjadi hingga hamil diluar nikah, bagaimana solusi terbaik menurut Islam?
Perbuatan zina merupakan salah satu perbuatan yang keji dan merusak, disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa berzina adalah dosa yang sangat besar. Jangankan untuk melakukannya mendekatinya saja sudah dilarang.
Allah berfirman:
وَلاَتَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلاً
“Janganlah kalian mendekati zina. Karena zina adalah perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan.” (Q.S. Al-Isra’: 32)
Oleh sebab itu, Islam telah menutup rapat celah menuju perzinaan, terbukti dalam Al-Qur’an telah disebutkan bahwa orang muslim dan muslimah wajib menutup aurat, aurat laki-laki dari pusar sampai lutut, sementara perempuan seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan wajah.
Selain itu juga, perempuan dilarang keluar rumah dengan berdandan, berwangian yang berlebih dan menampkan kecantikannya kepada laki-laki yang bukan mahrom, karena dapat menjadikan dirinya sumber perhatian bagi yang memandangnya.
Itu menunjukan adanya ikhtiyat (kehati-hatian) untuk menuju perzinaan yang disebabkan oleh mata dan fikiran orang-orang yang imannya tergoda, agar jangan sampai perzinaan itu terjadi.
Namun jika orang sudah terlanjur berzina dan hamil diluar nikah, berikut adalah solusi terbaik menurut pandangan islam.
Pertama, bertaubat secara sungguh-sungguh (taubat nasuha). Orang yang berzina sementara belum bertaubat maka berhak untuk disebut sebagai pezina. Dan apabila pezina ini menikah maka yang terjadi adalah pernikahan antara pezina.
Maka dari itu ketika ada orang yang berzina maka segeralah untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya. Semoga saja Allah dapat menerima taubatnya dan mengampuni dosanya, sehingga label pezina dapat dihapuskan baik dihadapan Alloh maupun makhluk-Nya.
Kedua, menikahi perempuan yang sudah dihamili. Setelah adanya taubat yang sungguh-sungguh maka diperbolehkan menikahi perempuan yang hamil di luar nikah karena zina. Hal ini disampaikan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Qutul Habibil Gharib, Tausyih ‘ala Fathil Qaribil Mujib halaman 169 sebagai berikut:
ولو نكح حاملا من زنا، صح نكاحه قطعا، وجاز له وطؤها قبل وضعه على الأصح
(حاشية الشيخ ابراهيم البيجوري، الجزء الثاني، ص، 169)
Artinya: “Kalau seorang pria menikahi perempuan yang tengah hamil karena zina, maka akad nikahnya secara qath’i sah. Menurut pendapat yang lebih shahih, ia juga tetap boleh menyetubuhi istrinya selama masa kehamilan.”
Sedangkan status anak dari pernikahannya menurut para Ulama yang dikutip oleh Abul Hasan Al-Mawardi dalam Al-Hawi Al-Kabir yaitu:
فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزَّانِيَةُ خَلِيَّةً وَلَيْسَتْ فِرَاشًا لِأَحَدٍ يَلْحَقُهَا وَلَدُهَا، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ، وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ، وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ الْحَدِّ وَيَلْحَقُهُ إِذَا مَلَكَ الْمَوْطُوءَةَ وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ
Artinya: “Jika perempuan itu kosong, yakni tidak menikah sampai persalinan, maka anak itu dinisbahkan kepadanya. Menurut Madzhab Syafi’i, anak itu tidak dinisbahkan kepada lelaki yang berzina meskipun ia mengakuinya. Menurut Al-Hasan Al-Bashari, hal itu dimungkinkan jika lelaki tersebut mengakuinya disertai bukti. Pendapat ini dipakai oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Rohawaih. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia mengakuinya setelah sanksi had dan anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia memiliki budak perempuan meskipun ia tak mengakui bayi itu sebagai anaknya. Imam Hanafi mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki yang menikahi ibunya meskipun sehari sebelum persalinan. Tetapi jika lelaki itu tidak menikahi ibunya, maka anak itu tidak bisa dinisbahkan kepadanya,”
Demikian, semoga anak-anak kita termasuk anak yang dijauhkan dari kejadian ini, serta selalu menjadi hamba yang senantiasa beriman dan bertaqwa kepada Alloh Swt.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.